Karena itu dia berharap penyelenggara pemilu bisa menerapkan protokol kesehatan ketat untuk mencegah terjadinya penyebaran Covid-19 yang berpotensi menjadi klaster baru jika tidak dilakukan dengan baik.
Berbeda dengan Ulfa, Setiawan Yoyok Arianto (37), warga Ampel, Kecamatan Semampir yang bekerja sebagai kuli bangunan dan sopir ini memilih untuk tidak mencoblos pada Pilkada Surabaya.
Ia mengaku tidak mengenal kandidat yang berlaga di Pilkada Surabaya.
"Saya enggak mencoblos karena saya tidak punya pandangan tentang calon yang berlaga di Pilkada Surabaya. Bingung dan enggak tahu mau pilih siapa, jadi golput saja," kata Ari.
Selain itu, lanjut Ari, pandemi Covid-19 masih jadi ancaman bagi masyarakat Kota Surabaya.
Sebab, sampai hari ini pandemi Covid-19 di Surabaya belum juga mereda.
Ia lebih memilih untuk bekerja karena bisa menghasilkan uang, daripada harus datang ke TPS.
"Jadi kalau saya lebih baik bekerja saja, daripada datang ke TPS. Kebetulan, saya sedang garap renovasi rumah orang. Musim hujan kan banyak rumah orang yang bocor. Saya bekerja dapat uang, kalau harus mencoblos, saya rasa buang waktu saja," ujar dia.
Meski demikian, pada momen Pilkada Surabaya ini ia tetap berharap nantinya muncul pemimpin berkualitas yang peduli terhadap warga kurang mampu seperti dirinya.
Ia tidak ingin ada kesenjangan ekonomi dan sosial di Surabaya.
Ia juga berharap masyarakat kurang mampu bisa mendapatkan kehidupan yang layak.
"Siapa pun yang terpilih, semoga bisa memikirkan dan membantu rakyat kecil seperti saya. Artinya tidak kejamlah sama masyarakat enggak mampu," tutur dia.
Warga lainnya, Rusdianto (48), asal Ngagel, Kecamatan Wonokromo, yang berprofesi sebagai dosen di salah satu universitas di Jawa Timur, memilih tidak mencoblos di Pilkada Surabaya besok.
Ia mengaku khawatir dengan potensi peningkatan penularan Covid-19 di Surabaya yang belum juga reda.
Terlebih lagi, ia menilai, tingkat kesadaran masyarakat terhadap protokol kesehatan relatif rendah.