"Tapi kan itu belum terbayar, keburu kapalnya mendarat salah tempat, jadi tidak ketemu langsung dengan orang yang menunggu di tempat koordinat yang telah ditentukan sebelumnya," kata Sony.
Menurut Sony, seharusnya ke-99 orang etnis Rohingya mendarat di lokasi lain di Aceh Utara. Namun karena kapal rusak, mereka mendarat ke tempat terdekat.
Baca juga: Gadis Rohingya Diduga Kabur dari Kamp Penampungan Lhokseumawe
Tepat pada tanggal 22 Juni 2020, empat orang yang ditugaskan menjemput rombongan etnis Rohingya tersebut bergerak dari dermaga nelayan di Seunuddon, Aceh Utara, menuju titik koordinat yang telah ditentukan sebelumnya.
Namun, pada 24 Juni 2020, salah seorang yang bertugas menjemput rombongan tersebut menelpon ke darat untuk memberitahukan bahwa kapal yang mereka gunakan untuk melaut mengalami kerusakan mesin, setelah membantu mengevakuasi puluhan orang etnis Rohingya.
Saat itu, jarak mereka dengan daratan sekitar 4 mil dari bibir pantai Seunuddon, Aceh Utara.
Pada saat bersamaan, sejumlah nelayan Aceh melihat keberadaan rombongan etnis Rohingya di tengah laut.
Baca juga: Cerita Yusuf Pengungsi Rohingya yang Terdampar di Aceh, Bayar Utang Perjalanan Sampai Mati
Unsur Forum Komunikasi Pemerintah Daerah (FORKOPIMDA) Kota Lhokseumawe sebelumnya berencana untuk memberikan makanan dan logistik lainnya, kemudian kapal rombongan tersebut akan didorong kembali ke tengah laut.
Namun warga sekitar pantai Lancok, Aceh Utara, memprotes pihak keamanan hingga mengambil kapal nelayan pribadi untuk menarik mereka ke darat.
Peristiwa tersebut terjadi pada 25 Juni 2020.
Kepala Direktorat Reserse Kriminal Umum, Kombes Sony Sanjaya, mengatakan bahwa terdamparnya puluhan orang etnis Rohingya pada Juni lalu bukan semata karena kemanusiaan, melainkan ada upaya penyelundupan manusia.
Baca juga: Bantu Pengungsi Rohingya, Dompet Dhuafa Aceh Buka Posko Kesehatan
Mengenai apakah mereka berkorelasi dengan sindikat penyelundupan manusia internasional, menurutnya hal itu ini merupakan ranah Mabes Polri untuk menjelaskan.
Tindak pidana penyelundupan manusia diancam dengan pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama 15 tahun, kemudian denda paling sedikit Rp 500 juta dan paling banyak Rp 1,5 miliar melalui Pasal 120 ayat 1 UU Nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian.
Baca juga: Pemerintah RI Bakal Pindahkan 99 Pengungsi Rohingya di Aceh
"Dalam kasus ini ada dua orang yang kita tangkap yaitu seorang perempuan asal Medan berinisial P dan satu lagi S warga Rohingya di Medan," kata Kombes Pol Sony Sanjaya.
S disebut menyuruh P, seorang perempuan warga Medan, untuk menjemput tiga orang Rohingya gelombang kedua yang datang bersama 297 orang pada September lalu.
Tapi belum berhasil membawa kabur tiga orang Rohingya, P ditangkap oleh polisi pada, Selasa (13/10). S ditangkap di Medan, Sumatera Utara.
Sejauh ini sudah 12 orang etnis Rohingya dari gelombang satu dan dua yang kabur dari BLK Lhokseumawe, namun tiga di antara mereka telah didapatkan sebelum tiba ke Medan. Sisanya belum dapat dipastikan keberadaannya.
Baca juga: RI Akan Dalami Dugaan Pengungsi Rohingya di Aceh Korban Penyelundupan
Selain ditolak oleh negara-negara Asia Tenggara, alasan lain mengapa etnis Rohingya terombang-ambing di lautan selama enam bulan adalah karena mereka "dijadikan tawanan" oleh kelompok penyelundup manusia.
"Penyelundup manusia ini ingin dibayar, jadi mereka menawan para penumpang, itulah kenapa kelompok ini menghabiskan waktu lama di lautan sebelum mereka mendarat [di Aceh]," jelas Chris.
Baca juga: Prioritas Utama Pemerintah, Membawa Pengungsi Rohingya Kembali ke Rakhine
"Kami menghubungi beberapa kerabat para penumpang ini, mereka mengatakan telah membayar [biaya perjalanan] pada Mei lalu, namun kenapa mereka belum mendarat saat itu adalah karena belum semua penumpang di kapal telah membayar. Jadi mereka menawan mereka di tengah lautan," tambahnya.
Menurut Chris, kapal besar yang mengangkut pengungsi Rohingya dari Bangladesh itu diatur dari Myanmar.
"Lalu mereka ke Bangladesh untuk menjemput mereka. Kapal ini tidak pernah memasuki perairan Bangladesh," jelasnya.
Baca juga: Rohingya di Aceh, Dilema Antara Kemanusiaan dan Potensi Kecemburuan Sosial
"Jadi para penumpang ini ditransfer ke kapal-kapal yang lebih kecil di tengah lautan. Siapa para penyelundup manusia ini? Kami tidak tahu," kata Chris.
Chris meyakini bahwa akan ada kapal-kapal yang mengangkut komunitas Rohingya dalam beberapa bulan ke depan, terutama di musim puncak yang biasanya jatuh pada "akhir Oktober atau November."
Indikasi penyelundupan manusia juga diutarakan Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi.
Dia mengatakan Indonesia menekankan pentingnya kerja sama untuk melawan kejahatan lintas batas, termasuk penyelundupan manusia.
"Karena diduga saudara-saudara kita ini juga merupakan korban dari kejahatan lintas batas," tukas Retno.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.