Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mereka yang Merawat Ikrar Sumpah Pemuda di Maluku, Kalbar, dan Sumbar

Kompas.com - 28/10/2020, 06:07 WIB
Rachmawati

Editor

Sudarto adalah salah satu pendiri Pusat Studi Antar Komunitas (Pusaka), lembaga riset, dialog antar agama, serta mengadvokasi kebebasan beragama dan berkeyakinan di Sumatera Barat.

Salah satu yang diadvokasi Sudarto pada akhir tahun lalu adalah kasus pelarangan ibadah Natal di Jorong Kampung Baru di Nagari Sikabau, Kabupaten Dharmasraya.

Kasus ini bermula dari umat Katolik yang ingin menggelar kebaktian dan perayaan Natal di rumah ibadah sementara mereka di Jorong Kampung Baru, Nagari Sikabau, tetapi tidak diizinkan masyarakat setempat.

Baca juga: Amnesty International: Sudarto Membela Hak Minoritas untuk Beribadah

Sudarto bersama Pusaka juga mengadvokasi Jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) di Jorong Sungai Tambang di Kabupaten Sijunjung yang juga tidak bisa merayakan Natal di tempat mereka.

Karena tidak ada penyelesaian yang memuaskan, Sudarto mengirim rilis ke media nasional dan mendapat pemberitaan yang luas dan menarik perhatian banyak pihak, bahkan Mendagri dan Menko Polhukam ikut turun tangan menyelesaikan persoalan ini.

Kasus tersebut, menurutnya, sejalan dengan hasil indeks kerukunan umat beragama yang diluncurkan Kementerian Agama RI 2019 lalu.

Hasil survei menyebutkan Provinsi Sumatera Barat terburuk kedua setelah Provinsi Aceh.

Baca juga: Komnas HAM Minta Polri Hentikan Kasus Sudarto soal Unggahan Larangan Natal

Secara terpisah, survei Badan Pusat Statistik menyebut 87% masyarakat di Sumatera Barat menolak pendirian rumah ibadah dan pemugaran rumah ibadah bagi non-Muslim.

"Itu isu intoleransi yang tidak menggembirakan, tidak hanya di atas kertas, tapi rill kita hadapi sendiri kenyataannya seperti itu," kata Sudarto kepada BBC News Indonesia.

Akan tetapi, pandangan Sudarto ditepis M Jumaini, selaku Wali Jorong (dusun) Kampung Baru Nagari Sikabau, Kabupaten Dharmasraya.

"Berita yang diisukan dia [Sudarto] itu tidak benar, katanya intoleran. Nagari itu kan mempermasalahkan tempat, bukan melarang perayaan Natalnya. Kecuali tempatnya itu sudah ada izinnya itu nggak masalah, ini tempatnya sebagai rumah ibadah kan belum ada," cetus M Jumaini.

Baca juga: Polemik Larangan Natal di Dharmasraya, Polisi: Status Facebook Sudarto Tidak Sesuai Fakta

Untuk warga Jorong Kampung Baru, Pemerintah Kabupaten Dharmasraya memberi solusi dengan memfasilitasi pinjaman mobil agar umat Katolik beribadah di Gereja St.Barbara di Sawahlunto yang jaraknya 135 Kilometer dari Kampung Baru atau merayakan Natal di tempat lain.

Namun, hal ini "tidak menyelesaikan persoalan" kata Sudarto.

Sudarto berharap pemerintah pusat membuat regulasi tata kelola keberagaman yang bisa melindungi semua kelompok agama maupun kepercayaan.

"Jujur saya menggerutu, kok bisa negara berke-Tuhanan Yang Maha Esa tapi untuk menyembah Tuhan dengan cara yang berbeda begitu ribetnya," katanya.

Baca juga: Sudarto Ditangkap Usai Unggah Larangan Natal, ICJR Desak Revisi UU ITE

Stanley Ferdinandus, pendiri Heka Leka

Stanley Ferdinandus pendiri Heka Leka, lembaga pendidikan yang bergerak di Maluku.Dok.Pribadi Stanley Ferdinandus pendiri Heka Leka, lembaga pendidikan yang bergerak di Maluku.
Ketika Stanley Ferdinandus duduk di bangku SMA di Ambon pada 1999, ia menyaksikan langsung bagaimana konflik berdarah di Maluku itu merusak komunitas.

Kerusuhan yang pecah di ibu kota provinsi tersebut berbekas dalam ingatan Stanley.

Sejak kejadian itu, ia terdorong untuk membangun kembali kampung halamannya.

"Kan saya punya lokasi tinggal itu kan tempat kerusuhan mula-mula - di Ambon, di daerah namanya Mardika. Jadi, saya itu berhadapan langsung dengan bagaimana konflik, tinggal di pengungsian, susah makanan, melihat orang dibunuh, melihat rumah-rumah dibakar, melihat orang perang, melihat tentara, polisi," kata Stanley kepada BBC News Indonesia.

Baca juga: Cerita Kembar Trena Trini Terpisah 20 Tahun karena Konflik Ambon, Bertemu gara-gara TikTok

"Ya pokoknya itu menjadi pengalaman saya pada waktu sekolah, pada waktu itu '99 ya. Nah, lalu dari situ, ke tahun 2000, itu ya istilahnya natural aja, tiba-tiba itu visi itu ada dalam hati. Wah, pengen nih, bikin orang Maluku jadi lebih baik."

Setelah lulus SMA, Stanley melanjutkan pendidikannya ke Pulau Jawa - di Surabaya dan Salatiga - hingga menyelesaikan S2.

Sambil mengemban ilmu, ia pun semakin mengapresiasi bagaimana pendidikan berperan penting dalam membangun pribadi.

Baca juga: Senjata Organik Buatan Amerika Sisa Konflik Ambon Diserahkan Warga ke TNI

Selesai kuliah, ia memutuskan untuk kembali ke Ambon. Di kota kelahirannya itu dia langsung terjun mengajar - sebagai dosen, guru sekolah dan pelatih, sambil membangun jaringan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com