KOMPAS.com - Sudah 92 tahun berlalu sejak para peserta Kongres Pemuda II di Jalan Kramat Raya 106, Jakarta, mencetuskan ikrar bertanah air satu, berbangsa satu, berbahasa satu: Indonesia.
Berbeda dengan masa penjajahan Belanda, para pemuda kini menghadapi permasalahan kontemporer yang sebagian di antaranya mengancam perekat Indonesia sebagai bangsa.
Inilah sejumlah pemuda yang tidak tinggal diam menyaksikan permasalahan itu. Mereka dengan berani menantang arus demi merawat ikrar pada 28 Oktober 1928.
Baca juga: Contoh Teks Eksplanasi tentang Sumpah Pemuda
Ketegangan pada Mei 2017 silam masih segar dalam ingatan Isa Oktaviani, perempuan berusia 24 tahun asal Pontianak, Kalimantan Barat.
Saat itu, organisasi Front Pembela Islam bersitegang dengan massa yang menggelar Pekan Gawai Dayak. Insiden itu terjadi setahun sebelum digelarnya Pilkada untuk lima kabupaten kota dan provinsi Kalbar.
Efek ketegangan di Pontianak pada 2017 membuat Isa terkenang akan doktrin yang diterimanya sejak kanak-kanak.
Baca juga: Memaknai Sumpah Pemuda dari Spirit Kewirausahaan
"Aku mendapat doktrin bahwa ada satu suku yang kita seperti bermusuhan," kata perempuan dari suku Dayak kepada BBC News Indonesia.
Isa mengaku merasa sedih tatkala duduk di bangku kuliah bahwa doktrin rasial serupa juga ditanamkan pada teman-temannya dari etnis dan agama lain.
Untuk memastikan akar penyebab permasalahan yang dilihat dan dialaminya, Isa mengadakan survei sederhana soal toleransi di Kota Pontianak.
"Coba tanya ke teman-teman sebaya: 'Kenapa ya kita seolah-olah tersegregasi?' Kebanyakan menjawab punya prasangka. Nah, saya berpikir bagaimana agar prasangka itu hilang," katanya.
Baca juga: Nilai-Nilai Penting Sumpah Pemuda
Berdasarkan hasil survei tersebut, Isa berinisiatif mengumpulkan para pemuda dari berbagai latar belakang dan mendirikan organisasi Satu dalam Perbedaan Indonesia atau Sadap Indonesia guna memusnahkan prasangka terhadap orang yang berbeda keyakinan, etnis atau ras.
"Sadap ini dijadikan sebagai ruang jumpa untuk kita saling mengenal, agar kita saling tahu sehingga tidak ada prasangka. Sebenarnya sesederhana itu," kata Isa.
Keinginan Isa untuk menciptakan ruang jumpa bagi para pemuda dia wujudkan dengan mengadakan Temu Pemuda Lintas Iman atau Tepelima.
Salah satu pesertanya adalah Danica Ivana Liu, remaja berusia 19 tahun.
Baca juga: Gedung Kramat di Jakarta, Indekos yang Jadi Saksi Bisu Lahirnya Sumpah Pemuda
Pesertanya yang majemuk dari berbagai latar belakang, memperkaya perspektifnya.
"Dalam diskusi tentang agama, setelah saling mengenal, saya menjadi tahu bahwa pandangan saya selama ini tentang orang-orang dari agama dan suku lain itu salah. Walaupun kita tampak berbeda secara fisik, dari agama yang kita anut, kita tetap satu," papar Danica.
Andreas Acui Simanjaya, tokoh Tionghoa Pontianak, mengapresiasi keberadaan Sadap Indonesia.
Baca juga: Menag: Masjid Hadiah Pangeran Abu Dhabi untuk Jokowi Perkuat Toleransi
"Dialog antarpemuda ini sangat baik. Mereka tidak mudah termakan isu yang dilemparkan, tidak mudah dihasut atau terbawa provokasi," ujarnya.
Leo Prima, dosen komunikasi Universitas Tanjungpura Pontianak, berharap agar organisasi seperti Sadap bisa bermunculan di tempat-tempat lain di Indonesia untuk membangun pemahaman terhadap perbedaan.
"Saya harapkan bisa muncul pengalaman yang lebih besar, sehingga satu kelompok dengan satu kelompok lain memiliki kedekatan emosional," tutupnya.
Baca juga: Mendambakan Toleransi Umat Beragama