Setelah dilakukan pemeriksaan medis termasuk melakukan foto scan atau rontgen pada tubuh Arga, hasilnya ternyata di dalam batang otak Arga terdapat cairan air yang menganggu sarafnya.
Pada saat itu juga dokter menyarankan untuk dilakukan tindakan operasi terhadap bayi Arga.
Namun, biaya operasi yang amat mahal dan keterbatasan ekonomi membuat bayi Arga batal mendapatkan pengobatan secara medis.
"Waktu itu, biaya operasi ditaksir sekitar Rp 2 jutaan, tapi enggak punya duit, ya udah dirawat semampunya aja," terang dia.
Sejak saat itu, Suharto bersama istrinya Supriyatin hanya bisa pasrah merawat Arga tanpa mendapatkan pengobatan medis untuk kesembuhan bayi Arga.
Beban merawat Arga semakin berat dirasakan oleh Suharto, semenjak istrinya, Supriyatin, meninggal dunia pada tahun 2010 silam, akibat penyakit lambung yang diderita sejak lama.
Baca juga: Kisah Lora, Pedagang Asongan di Pelabuhan Berjuang Berikan Pendidikan untuk 5 Anaknya
Suharto harus merawat Arga yang telah tumbuh besar sendirian tanpa bantuan sang istri yang mendampinginya.
Di tengah keterbatasan ekonomi, Suharto berusaha sekuat tenaga menyambung hidup dan merawat Arga dengan baik dengan bekerja menjadi pemulung setiap hari.
Kondisi itu memaksa Suharto tidak bisa bepergian jauh dari rumahnya.
Sebab, setiap hari dan setiap saat, harus merawat Arga seperti menyuapi makan dan minum dikala lapar maupun haus.
"Cari rongsokannya ya paling sehari di sekitar sini saja sudah pulang, soalnya ada tanggungan merawat ini loh," kata Suharto, sambil mengelus kepala Arga.