Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Banjir Luwu Utara Sudah Diprediksi sejak 2019, Akademisi: Banyak Alih Fungsi Lahan di Sana

Kompas.com - 18/07/2020, 06:16 WIB
Rachmawati

Editor

Kondisi ini disebut mudah jebol apabila ada akumulasi debit air tinggi.

Adapun faktor manusia, KLHK memantau adanya pembukaan lahan di daerah hulu DAS Balease dan penggunaan lahan masif perkebunan kelapa sawit.

Terkait dengan pembukaan lahan ini, salah satu rekomendasi dari KLHK yakni pemulihan lahan terbuka di daerah hulu.

Baca juga: Banjir Bandang Luwu Utara, Gubernur Sulsel Fokus Penyelamatan dan Logistik

Sudah diprediksi sejak 2019

Potensi bencana di Luwu Utara telah dikaji Pusat Studi Kebencanaan Universitas Hasanuddin (Unhas) sejak 2017 lalu. Pada 2019, hasil penelitian diterbitkan dalam Journal of Physics.

Dalam laporan itu, Luwu Utara disebut sebagai salah satu daerah dengan risiko tinggi banjir mengingat wilayah hulu sungai di Masamba terjadi degradasi akibat banyak kawasan yang dialih fungsikan.

Banjir bandang pun rawan terjadi lantaran intensitas hujan yang ekstrem terkait pemanasan global.

Baca juga: Tampung Pengungsi Banjir Bandang, Pemkab Luwu Utara akan Bangun Rumah Sementara

"Banyak dialih fungsikan lahan di sana, entah itu untuk pemukiman, perkebunan, entah itu logging atau sebagainya. Nah dua hal inilah yang mengakibatkan terjadinya banjir bandang kemarin," kata Ketua Pusat Studi Kebencanaan yang juga Guru Besar Teknik Geologi Unhas, Profesor Adi Maulana.

Prof Adi menyebutkan, Pemerintah Kabupaten Luwu Utara semestinya kembali melihat rencana tata ruang wilayah. Karena fungsi hutan di hulu sungai tidak bisa dijadikan sebagai hutan produksi atau perkebunan.

"Sehingga itu sudah mutlak harus dijaga, karena dekat dengan pemukiman warga. Jika dialih fungsikan untuk perkebunan harus dipastikan apakah tidak mempengaruhi daya dukung sungai," tutur Prof Adi kepada wartawan BBC News Indonesia.

Baca juga: Update Banjir Bandang Luwu Utara, Korban Bertambah Jadi 32 Orang

KPA Sulsel: Konsesi memperparah bencana

Potensi bencana di Luwu Utara telah dikaji dan diprediksi Pusat Studi Kebencanaan Universitas Hasanuddin (Unhas) sejak 2017 lalu.Darul Amri Potensi bencana di Luwu Utara telah dikaji dan diprediksi Pusat Studi Kebencanaan Universitas Hasanuddin (Unhas) sejak 2017 lalu.
Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) Sulsel menilai, banjir bandang di Luwu Utara juga disebabkan konsesi-konsesi perkebunan sawit dan dikeluarkan izin usaha pertambangan.

"Ini memperluas dan memperparah dari sebuah dampak yang sangat masif. Kita lihat saja di hulu Maipi sungai Masamba. Di sana kita lihat bukan saja kawasan sawit tapi juga vila-vila mewah," kata Koordinator KPA Sulsel, Rizki Anggriana Arimbi.

KPA Sulsel mencatat, Luwu Utara punya luas wilayah 750.268 Hektare (Ha) dan luas Hak Guna Usaha (HGU) adalah 90.045 Ha. Sementara dari luas wilayah tersebut, tujuh perusahaan swasta menguasai 84.389 Ha. Sementara satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) 5.665.00 Ha.

Baca juga: Erick Thohir Perintahkan BUMN Bantu Penanggulangan Banjir Bandang di Luwu Utara

Dari luas wilayah HGU tersebut, lebih dari 61.000 hektare di antaranya digunakan untuk perkebunan kelapa sawit.

Rizki Anggriani mengatakan, jika diperiksa dalam Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW) Luwu Utara dan geoportal ESDM, lokasi-lokasi yang disebutkan masuk dalam kawasan rawan bencana.

"Jadi itu sebagai lokasi likuifaksi dalam kategori sedang. Musibah yang terus berulang ini memperlihatkan pemerintah tidak merumuskan suatu kebijakan atau rencana strategis untuk menyelesaikan situasi seperti ini," kata Rizki Anggriani.

Baca juga: 6 Kali Banjir dalam 2 Bulan di Luwu, Wagub Sulsel Minta Sungai Dinormalisasi

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com