Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Wawancara Khusus: Buka-bukaan Ridwan Kamil Soal Penanganan Covid-19 di Jabar

Kompas.com - 02/05/2020, 13:38 WIB
Dendi Ramdhani,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

 

- Saat semua negara terkena dampak, bagaimana analisa dan prediksi Kang Emil mengukur eksesnya terhadap Jawa Barat? 

Pertanyaan itu sulit dijawab karena membahas Covid-19 ini gak ada preseden sejarah. Sehingga setiap hari adalah improvisasi, setiap hari kami mengambil keputusan berdasarkan data yang ada dan prediksi ilmiah yang juga tak ada referensi sejarahnya.

Ini mah bener-bener masuk ke hutan saja, meraba dalam kegelapan ini ujung hutannya ada dimana, ujung perangnya kapan tidak bisa diprediksi.

Tapi ada dalam ilmu-ilmu statistik yang bisa menunjukan tren. Tren itu ada syaratnya, kalau disiplin Juni turun Juli selesai. Tapi kata disiplin ini situasi yang tidak bisa dijamin. Sampai saat ini PSBB masih 50 persen warga berseliweran dalam datanya padahal idealnya 30 persen. 

Baca juga: Ridwan Kamil: Berdonasi dan Berdiam di Rumah adalah Bentuk Bela Negara

- Bagaimana menyikapi dinamika bantuan sosial di Jawa Barat yang tengah hangat diperbincangkan? 

Bansos ini sedih sekali terus terang. Karena tadinya sebelum Covid-19 kan hanya 25 persen yang disubsidi. Pasca-covid diperkirakan hanya 40 persen. Ternyata yang minta bantuan 65 persen. Jadi bisa bayangkan dua per tiga warga Jabar yang 50 juta penduduk ini minta bantuan dari negara. Bayangkan coba. 

Kalau dibandikan dengan Korea Selatan yang sama-sama 50 juta penduduk, kan yang harus diselamatkan nyawanya sama tapi anggaran kita hanya 0,6 persen dari Korsel. Jadi ada dua wilayah penduduknya sama, yang satu modalnya 100 persen yang satu 0,6 persen.

Gimana coba, harus menyelamatkan kualitas nyawanya sama, ditambah bansosnya menggerus 0,6 persen. Jadi ini mah sudah di bawah banget lah. Jadi saya sudah gak mikirin gimana kerjaan, program, menurut saya sudah gak relevan. Pertanyaannya ini hanya bisa dijawab di Juli saat tren turun. 

Baca juga: Ridwan Kamil Sebut PSBB di Jabodetabek Berhasil Tekan Kasus Covid-19

- Tanggapan soal protes dan kritik dari masyarakat soal bansos yang dianggap tak merata? 

Ada istilah memimpin adalah menderita. Hari ini semua orang stres, semua orang cenderung marah. Jadi sebagai orang yang berada dalam politik praktis, dibully, dikritisi mah sudah biasa. Pertanyaan adalah apakah dalam konteks kritikan itu kita melakukan kekeliruan yang mendasar atau masalah kepuasan saja? 

Ambil contoh masalah bansos. Kalau saya tak membantu duluan yang jatah provinsi sampai hari bantuan tak bisa dikirim karena data dari bawah belum beres, belum lengkap. Kalau alasan menunggu data lengkap dulu ya sudah hilang sebulan ada orang kelaparan.

Baca juga: Soal Bansos Jabar, Ridwan Kamil Bilang 1,7 Juta Data KK Ngaco

Maka kita kirim duluan dengan penjelasan bahwa yang dikirim provinsi bukan untuk semua, tapi hanya untuk seperdelapan. Karena tujuh perdelapan lagi datang dari tangan yang lain.

Nah ini belum dipahami secara menyeluruh, mengakibatkan tujuh per delapan yang belum menerima menyangka tak kebagian. Jadi kita ini dikritik karena kecepetan kerja sebenarnya, kerja kita terlalu cepat pintu yang lain lambat. Jadi istilahnya dibully karena kerja, buat saya gak masalah. 

- Kang Emil sempat mengusulkan kepada Presiden Joko Widodo agar distribusi bansos dilakukan satu pintu untuk mengantisipasi gejolak dimasyarakat. Apakah sudah ada respons pemerintah pusat? 

(Geleng-geleng kepala). Tadinya hari Selasa (28/4/2020) diagendakan rapat dengan Kementrian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.

Karena di rapat kabinet saya dengar sendiri Pak Jokowi memerintahkan Menko PMK mengkondisikan itu. Selasa pagi datang data mau ada rapat sudah dipersiapkan, tapi dibatalkan, sampai hari ini gak ada lagi.

- Apa yang mendasari usulan itu? 

Saya sudah katakan, di darurat ekonomi sekarang yang akan ribut itu urusan timing. Saya kirim bantuan tanggal 15 April, Bansos Kemensos tanggal 20 April, Dana Desa baru mulai 27 April, bantuan sembako Presiden baru 4 Mei. Maka yang duluan yang kena bully karena kita datang lebih cepat disangka (penerima) jatah pemerintah pusat gak dapat keadilan dari provinsi. 

Baca juga: Bantuan di Kabupaten Bogor Bermasalah, Para Kades Jadi Bulan-bulanan Warga

Jadi ramai, ada kepala desa (protes) lah apa lah. Padahal kalau diurai secara jernih gara-gara jadwalnya beda-beda. Padahal dalam satu desa itu ada jatah (bantuan dari) Gubernur, Kemendes, dan lain-lain.

Tapi mereka tidak hafal. Ditambah datanya tak seindah yang mereka ajukan juga. 1,7 juta datanya ngaco gak bisa dieksekusi, kalau dieksekusi bisa kena perkara karena kita ngirim ke alamat yang tak jelas, ada nama tanpa alamat, ada alamat tanpa nomor KTP. Jadi kalau jujur multidimensi kompleks sekali.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com