Salin Artikel

Wawancara Khusus: Buka-bukaan Ridwan Kamil Soal Penanganan Covid-19 di Jabar

Sejak kasus pertama Covid-19 diumumkan Presiden Joko Widodo pada awal Maret 2020 lalu, seluruh daerah menyiapkan strategi untuk berperang melawan virus itu.

Mulai penerapan protokol kesehatan, hingga menyiapkan jaring pengamanan sosial untuk warga. 

Jawa Barat jadi salah satu daerah dengan angka kasus tertinggi mengingat sebagai wilayah terdekat dengan Jakarta sebagai episentrum penyebaran.

Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil pun punya tantangan besar untuk menyelamatkan wilayah, populasi seperempat penduduk Indonesia itu. 

Pria yang karib disapa Emil itu pun buka-bukaan soal perjuangan menangani Covid-19 di Jabar. Kompas.com berkesempatan mewawancarai Emil pada Jumat (2/5/2020) malam.

Berikut petikan wawancaranya.

- Apa yang ada di benak Kang Emil ketika kasus Covid-19 tiba di Jawa Barat dan langkah apa yang dilakukan? 

Saya kira Covid-19 ini tidak memilih geografis tidak memilih ekonomi. Dia menghancurkan semua lini kehidupan di semua negara. Mungkin teori menduga kalau negaranya kuat ekonominya bagus covid-nya cepat beres. Ternyata tidak. Kita menduga mereka yang kapasitas kesehatan dan teknologinya canggih bisa lebih cepat, ternyata tidak.  Jadi ini mengindikasikan, level Presiden, Gubernur, wali kota di semua negara itu sama. 

Pada Maret itu kondisi psikologi waswas sambil berharap mitos corona mati di suhu tropis dan lain-lain. Karena tidak ada pengalaman terus terang, seluruh sistem ini tidak mengkondisikan diri pada kesiapan-kesiapan yang seharusnya. Menyiapkan APD, ruang isolasi, ventilator, pengetesan, tidak ada sama sekali. 

Jadi semua baru bergerak pada hari pertama diumumkan oleh Presiden. Di hari itu gerakan kita adalah mengirimkan 10.000 masker ke Depok. Dari situ mulai kita melihat bahwa Jabar pasti masuk yang paling besar (kasusnya) karena dekat dengan episentrum yaitu Jakarta.

Dan Covid-19 ini penyakit kerumunan, semakin padat wilayah semakin banyak covidnya. Maka di Jabar pun yang banyak ditemukan mayoritas di wilayah zona metropolitan Bodebek, Bandung Raya. Makin ke kabupaten makin sedikit.

- Bagaimana strategi penanganannya ?

Perang melawan covid ini kami bagi tiga layer atau tiga benteng. Yakni pencegahan, pelacakan dan perawatan. Jangan sampai Covid-19 ini langsung lompat menembus benteng satu dua ke benteng tiga yang mengakibatkan pasti rumah sakit keteteran. Nanti seperti Ekuador tidak ada pencegahan, pelacakan, langsung bergelimpangan.

Karena itu Jabar merespons isu Covid-19 ini dengan belajar dari negara yang baik menurut WHO. Makanya sampai sekarang yang dipakai di Jawa Barat adalah Korea Selatan. Di mana tidak ada lockdown tapi memasifkan tes dan mendisiplinkan warganya.  Hari ini, metode itu sudah dilakukan.

Kita provinsi yang banyak mengetes sudah 100 ribu dan melakukan PSBB.  Per hari ini dengan pengkondisian benteng pencegahan maka kampanye PSBB dilakukan, kalau bocor kita lokalisir di benteng kedua di-tracing, baru dari sekian persen yang positif yang betul harus butuh perawatan masuk benteng ketiga dirawat yang per hari ini 55 persen yang dipakai jadi kapasitas masih cukup. 

Dan terbukti hari ini sejak adanya larangan mudik kasus menurun tajam yang menunjukan selama ini banyak imported case. Kalau klaster di Jabar tak ditemukan lagi hanya empat kan, klaster Bogor Bogor Karawang dan Lembang.

Yang ada hanya imported case dan lokal infeksi. Imported case makin menurun dengan ditutupnya pintu mudik. Maka dengan PSBB, bulan Ramadhan orang banyak di rumah, imunitas meningkat, pengetesan masif itu harapan kita dalam mengunci. 


- Saat semua negara terkena dampak, bagaimana analisa dan prediksi Kang Emil mengukur eksesnya terhadap Jawa Barat? 

Pertanyaan itu sulit dijawab karena membahas Covid-19 ini gak ada preseden sejarah. Sehingga setiap hari adalah improvisasi, setiap hari kami mengambil keputusan berdasarkan data yang ada dan prediksi ilmiah yang juga tak ada referensi sejarahnya.

Ini mah bener-bener masuk ke hutan saja, meraba dalam kegelapan ini ujung hutannya ada dimana, ujung perangnya kapan tidak bisa diprediksi.

Tapi ada dalam ilmu-ilmu statistik yang bisa menunjukan tren. Tren itu ada syaratnya, kalau disiplin Juni turun Juli selesai. Tapi kata disiplin ini situasi yang tidak bisa dijamin. Sampai saat ini PSBB masih 50 persen warga berseliweran dalam datanya padahal idealnya 30 persen. 

- Bagaimana menyikapi dinamika bantuan sosial di Jawa Barat yang tengah hangat diperbincangkan? 

Bansos ini sedih sekali terus terang. Karena tadinya sebelum Covid-19 kan hanya 25 persen yang disubsidi. Pasca-covid diperkirakan hanya 40 persen. Ternyata yang minta bantuan 65 persen. Jadi bisa bayangkan dua per tiga warga Jabar yang 50 juta penduduk ini minta bantuan dari negara. Bayangkan coba. 

Kalau dibandikan dengan Korea Selatan yang sama-sama 50 juta penduduk, kan yang harus diselamatkan nyawanya sama tapi anggaran kita hanya 0,6 persen dari Korsel. Jadi ada dua wilayah penduduknya sama, yang satu modalnya 100 persen yang satu 0,6 persen.

Gimana coba, harus menyelamatkan kualitas nyawanya sama, ditambah bansosnya menggerus 0,6 persen. Jadi ini mah sudah di bawah banget lah. Jadi saya sudah gak mikirin gimana kerjaan, program, menurut saya sudah gak relevan. Pertanyaannya ini hanya bisa dijawab di Juli saat tren turun. 

- Tanggapan soal protes dan kritik dari masyarakat soal bansos yang dianggap tak merata? 

Ada istilah memimpin adalah menderita. Hari ini semua orang stres, semua orang cenderung marah. Jadi sebagai orang yang berada dalam politik praktis, dibully, dikritisi mah sudah biasa. Pertanyaan adalah apakah dalam konteks kritikan itu kita melakukan kekeliruan yang mendasar atau masalah kepuasan saja? 

Ambil contoh masalah bansos. Kalau saya tak membantu duluan yang jatah provinsi sampai hari bantuan tak bisa dikirim karena data dari bawah belum beres, belum lengkap. Kalau alasan menunggu data lengkap dulu ya sudah hilang sebulan ada orang kelaparan.

Maka kita kirim duluan dengan penjelasan bahwa yang dikirim provinsi bukan untuk semua, tapi hanya untuk seperdelapan. Karena tujuh perdelapan lagi datang dari tangan yang lain.

Nah ini belum dipahami secara menyeluruh, mengakibatkan tujuh per delapan yang belum menerima menyangka tak kebagian. Jadi kita ini dikritik karena kecepetan kerja sebenarnya, kerja kita terlalu cepat pintu yang lain lambat. Jadi istilahnya dibully karena kerja, buat saya gak masalah. 

- Kang Emil sempat mengusulkan kepada Presiden Joko Widodo agar distribusi bansos dilakukan satu pintu untuk mengantisipasi gejolak dimasyarakat. Apakah sudah ada respons pemerintah pusat? 

(Geleng-geleng kepala). Tadinya hari Selasa (28/4/2020) diagendakan rapat dengan Kementrian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.

Karena di rapat kabinet saya dengar sendiri Pak Jokowi memerintahkan Menko PMK mengkondisikan itu. Selasa pagi datang data mau ada rapat sudah dipersiapkan, tapi dibatalkan, sampai hari ini gak ada lagi.

- Apa yang mendasari usulan itu? 

Saya sudah katakan, di darurat ekonomi sekarang yang akan ribut itu urusan timing. Saya kirim bantuan tanggal 15 April, Bansos Kemensos tanggal 20 April, Dana Desa baru mulai 27 April, bantuan sembako Presiden baru 4 Mei. Maka yang duluan yang kena bully karena kita datang lebih cepat disangka (penerima) jatah pemerintah pusat gak dapat keadilan dari provinsi. 

Jadi ramai, ada kepala desa (protes) lah apa lah. Padahal kalau diurai secara jernih gara-gara jadwalnya beda-beda. Padahal dalam satu desa itu ada jatah (bantuan dari) Gubernur, Kemendes, dan lain-lain.

Tapi mereka tidak hafal. Ditambah datanya tak seindah yang mereka ajukan juga. 1,7 juta datanya ngaco gak bisa dieksekusi, kalau dieksekusi bisa kena perkara karena kita ngirim ke alamat yang tak jelas, ada nama tanpa alamat, ada alamat tanpa nomor KTP. Jadi kalau jujur multidimensi kompleks sekali.


- Pandemi ini hampir melumpuhkan seluruh sektor. Dilema apa yang dirasakan ketika program kerja tak bisa jalan? 

Batin mah sedih sekali tapi sekarang sudah lewat. Saya gak mikir proyek lagi, program lagi. Sekarang urusannya menyelamatkan warga. Jadi dipastikan program gubernur dihentikan saja. Kita harus siap sampai Desember.

Kami menganggarkan triliunan hanya sampai bulan Juli. Kalau Juli Covid-19 masih manteng nauzubillah ya, kerja belum bisa. Berarti saya harus nyari trliunan lagi. Darimana lagi kalau tidak memberhentikan semua urusan diganti untuk urusan perut. Jadi semua dihentikan saja. 

- Bagaimana sinergitas dengan daerah dalam penanganan Covid-19 ?

Kita sebagai koordinator di Jabar sudah melakukan protokol luar biasa contohnya PSBB provinsi kalau berhasil 27 kota kabupaten PSBB terbanyak se-Indonesia adalah Jabar. Justru ini contoh kita sepakat, kompak menyamakan irama maka kita berhasil membuat kebijakan yang sinkron.

Saya lihat relatif tak ada konflik kepentingan statment dari kota kabupaten dengan provinsi. Karena kita setiap hari nelepon, komunikasi.

- Hasil survei dari Lembaga Riset Repro Indonesia menyebut Jabar paling baik dalam merespons isu Covid-19. Bagaimana tanggapannya? 

Pertama kita bekerja bukan untuk mendapat pujian niatnya, kita bekerja untuk menolong rakyat, menyelamatkan nyawa warga dengan keputusan terbaik dri keterbatasan. Teknologi dimaksimalkan, kerelawanan, kecepatan mengambil keputusan seperti tes duluan.

Maka kan kita prinsipnya lima. Pertama responsif kalau bisa cepet gak usah nunggu. Kedua, transparan (website) Pikobar adalah bagian dari transparansi. Ketiga ilmiah, tiap hari ada expert panel, orang statistik, dokter ngasih masukan ke telinga saya, PSBB provinsi itu masukan para ahli.

Keempat kolaboratif, ngajak karang taruna, PKK, membuat dapur umum dan lainnya. Kelima inovatif, industri dimanfaatkan, Biofarma bikin PCR sendiri, buat ventilator.  Lima ini yang kami pegang setiap hari sehingga kalau diapresiasi alhamdulillah kalau kurang baik kita perbaiki.

- Di media sosial banyak yang membandingkan kinerja kepala daerah. Bagaimana tanggapan Kang Emil?  

Jadi poinnya ujian kepemimpinan ini bukan untuk diranking menurut saya. Tiap konteks berbeda-beda kebutuhannya. Untuk Jabar ini sudah paling pol. Tapi kan ukurannya tadi covidnya turun tidak ada gejolak, ini yang menjadi tatangan karena ketidakpastian ini ada.

Kami tak mau dari darurat kesehatan, sekarang darurat kedua darurat ekonomi, jangan sampai darurat ketiga darurat sosial politik, penjarahan, kerusuhan.

Dibandingkan itu sunatullah. Kami para pemimpin Pak Ganjar, Pak Anies, kalau ngobrol gak pernah baper. Pak Ganjar Pak Anies punya haters, punya suporter. Saya juga ada, ada yang muji, ada yang mengkritisi.

Nabi Muhammad saja manusia mulia haters-nya banyak karena gak mungkin menyenangkan semua manusia. Di Jawa Barat prinsipnya kita kerja maksimal, yang kurang kita perbaiki, yang positif pertahankan. 

https://regional.kompas.com/read/2020/05/02/13381861/wawancara-khusus-buka-bukaan-ridwan-kamil-soal-penanganan-covid-19-di-jabar

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke