Petugas Lapas Batu memperingatkan kami secara khusus sebelum kami memasuki ruang pertemuan Rois dengan korban pengeboman.
"Kalau terjadi sesuatu hal yang di luar dugaan, ibu-ibu dan bapak-bapak langsung ke pinggir semua, ke tembok, kiri dan kanan. Nanti kita amankan. Langsung menjauh dari Rois."
Para petugas lapas risiko tinggi yang mengenakan penutup wajah kemudian mengantarkan dan mendampingi kami bertemu dengan Rois.
Di lapas risiko tinggi ini, napi ditempatkan masing-masing satu sel dan terpisah satu sama lain.
Baca juga: Bebas, Napi Teroris di Ngawi Dikawal Saat Pulang Kampung ke NTB
Di salah satu ruangan dalam lapas pada pertengahan Oktober 2019, Rois duduk di kursi roda. Ia mengalami stroke beberapa hari sebelumnya.
"Mata kanan saya tak bisa melihat, ini terjadi saat penyidikan," ceritanya kepada korban pengeboman Kedutaan Besar Australia, Iwan Setiawan, saat ia menyampaikan bantahan mengenai keterlibatannya dalam pengeboman itu.
Cerita yang kemudian dibantah oleh Hassan, yang mengatakan mereka memiliki peran yang sama sebagai petugas pengantar bahan peledak atas perintah Noordin M Top dan Azahari, dua pentolan Jemaah Islamiyah asal Malaysia.
Pengeboman itu menewaskan sembilan orang dan melukai sekitar 160 orang lainnya.
Baca juga: Ralat Pernyataan, Mahfud Sebut Pencabutan Kewarganegaraan Terduga Teroris Tak Perlu Pengadilan
Selain keterlibatan dalam pengeboman Kedutaan Besar Australia pada September 2004, Rois juga dituding menggerakkan Bom Thamrin Jakarta pada 2016, bersama Aman Abdurrahman, dari balik jeruji penjara di Nusakambangan.
Hal ini terungkap dalam persidangan Aman Abdurrahman pada 2015, yang menghadirkan saksi Saiful Muhtorir alias Abu Gar, yang menyatakan bertemu Rois tiga kali di Nusakambangan untuk membicarakan rencana penyerangan di Jakarta itu.
Para narapidana, termasuk narapidana terorisme (napiter), berdasarkan aturan yang ada, berhak mendapatkan kunjungan tamu dua kali dalam satu minggu.
Baca juga: Imparsial: Anak-anak WNI Terduga Teroris yang Dipulangkan Harus Dideradikalisasi