"Jamu bisa dibuat dari akar, batang, daun, biji, dan tunas. Saya mencatat ada 300 lebih macam tumbuhan yang bisa digunakan untuk jamu. Lalu pernah ada yang mendokumentasikan jamu dan ada sekitar seribu lebih jenis jamu di Nusantara," jelasnya.
Dia mengakui jika jamu banyak berkembang di Jawa Tengah khususnya di Surakarta. Hal ini tidak terlepas dari tradisi lingkungan keraton serta pendokumentasian tentang jenis jamu.
Di wilayah Jawa Tengah juga berkembang pabrik jamu yang cukup terkenal di kalangan masyarakat.
"Para putri keraton kan cantik-cantik. Jadi ingin tahu resepnya apa. Jamunya apa. Jadi dicatat. Apalagi banyak orang-rang yang mendokumentasikan. jamu ini tidak ada duanya dan hanya satu di Indonesia," katanya.
Baca juga: Minum Jamu Seduh Keliling, 6 Warga Diduga Keracunan
Murdijati mengatakan ada delapan jenis jamu Jawa yang dikenal masyarakat, yakni paitan, watukan, cabe puyang, beras kencur, kunyit asem, kuat laki, galian singset, dan pegal linu.
Delapan jenis jamu tersebut adalah simbol dari delapan mata angin yang dikenal oleh masyarakat. "Ini adalah simbol penyakit dari 8 arah bisa disembuhkan dengan 8 jenis jamu," katanya.
Selain diminum, cara penggunaan jamu bisa juga dengan dicekoki, ditempel seperti pilis, tampel, dan parem.
Ia menjelaskan jika masyarakat Jawa Tengah mengenal jamu, maka masyarakat Jawa Barat lebih mengenal lalapan untuk menjaga kebugaran.
Baca juga: Polisi Kebut Berkas Kasus Dugaan Penipuan Investasi Jamu Herbal yang Rugikan Rp 17 Miliar
Heri Priyatmoko, dosen Sejarah, Universitas Sanata Dharma saat dihubungi Kompas.com, Selasa (23/7/2019) mengatakan bahwa nenek moyang , baik yang berada di lingkungan keraton maupun pedesaan, meninggalkan warisan agung berupa aneka jenis ramuan tradisional disertai bahan yang melimpah.
Ia menjelaskan bahwa mayoritas masyarakat Jawa periode kerajaan ialah kaum petani miskin dan buruh dengan corak pemikirannya yang pramodern dan hunian dekat alam pedesaan dan pegunungan. Sehingga untuk mencegah atau mengusir penyakit mereka menggunakan ramuan tradisional.
"Kenyataan historis bahwa di pedesaan ada mantri umum yang memberi penyuluhan dan mantri spesialis jenis penyakit. Tapi mantri itu hanya muncul saat wabah penyakit merebak yang dinilai membahayakan keselamatan orang-orang Eropa. Nah kaum wong cilik jarang ikut merasakan keahlian mantri. Mereka mengandalkan ramuan klasik, ya jamu," jelasnya.
Untuk takaran manual, mereka menggunakan istilah sejimpit, sejumput, sekilan, sekepel dan segelas.
Setelah muncul usaha penerbitan buku, menurut Heri, banyak pengetahuan ramuan berkhasiat yang bersifat lisan ditulis dan dicetak menjadi buku lalu disebar-luaskan.
Ia mencontohkan Serat Primbon Jampi Jawi yang tersimpan di Perpustakaan Reksopustoko, Mangkunegaran.
"Dalam naskah tersebut, ada dua jenis pengobatan, yaitu pengobatan tradisional dengan ramuan obat dan pengobatan tradisional spiritual atau kebatinan karena atas dasar kepercayaan," katanya.