Mak Tiyah setiap harinya menanak nasi dan lauk pauk seadanya untuk seorang santri remaja, Salimudin (19), yang duduk di bangku kelas XII SMA Negeri Nyalindung.
Salimudin ini, oleh Mak Tiyah dianggap seperti cucunya sendiri. Kegiatannya itu sudah berlangsung lebih tiga tahun, bahkan pada saat tertimpa bencana ini.
Sedangkan, Salimudin selain sekolah, juga menimba ilmu di Masjid Darussalam di kampung setempat.
"Bentar lagi Salim pulang sekolah. Setelah makan di sini, terus kembali ke masjid, belajar mengaji dan tidur di kobong (kamar)," tutur dia.
Daftar di hunian sementara
Mak Tiyah sudah mendaftatkan diri untuk ikut menempati rumah hunian sementara (huntara).
Saat ini, huntara sedang dalam proses pengerjaan yang dikelola atau dibangun oleh Pemerintah Kabupaten Sukabumi.
Rencananya, rumah huntara itu ditargetkan selesai Rabu 21 Agustus 2019 mendatang.
Meski pun masih sekitar sebulan lagi huntara selesai, namun, Mak Tiyah masih bersikeras untuk tinggal di rumah panggungnya.
"Kalau sudah selesai (huntara) Mak mau pindah," ujar dia sambil melipat-lipat selimut yang diterimanya dari bantuan.
Saat ditanya mengapa tidak tinggal sementara di pos pengungsian, Mak Tiyah menjawab tidak mau karena suasananya ramai. Dia mengatakan, ingin menikmati hidupnya dengan tenang.
"Mak ingin tiis ceuli herang panon (peribahasa Sunda yang artinya tenang dan tenteram-red)," jawab dia.
Kalau pun harus tinggal di pengungsian, Mak Tiyah mengusulkan ingin sendiri agar tidak terganggu dan mengganggu warga penyintas lainnya di pengungsian.
Ia ingin mengaji dan menunaikan shalat dengan tenang.
Keluarga khawatir