Salin Artikel

Kisah Mak Tiyah, Bertahan Menempati Rumah Panggung di Zona Merah Tanah Bergerak

SUKABUMI, KOMPAS.com - Ma Kobtiyah (80), salah seorang penyintas bencana tanah bergerak kembali menempati rumahnya di Kampung Gunungbatu, Desa Kertaangsana, Kecamatan Nyalindung, Sukabumi, Jawa Barat.

Padahal, rumah panggung yang saat ini ditempati Ma Tiyah (sapaan akrab Ma Kobtiyah), termasuk di daerah zona merah atau lokasi bencana.

Ma Tiyah sudah sekitar sebulan kembali menempati rumah panggung yang di kelilingi tanah tergerus dan retak-retak, serta sejumlah rumah rusak dan ambruk.

"Emak ingin tenang, makanya ke rumah ini lagi," ungkap Ma Tiyah, saat berbincang dengan Kompas.com, di rumah panggungnya, Sabtu (20/7/2019).

Sebelumnya, saat bencana tanah bergerak terjadi pada akhir April 2019 lalu, Ma Tiyah sempat tinggal di rumah tetangganya di kampung setempat. Di rumah tetangganya ini, Mak Tiyah sempat tinggal lebih dari sepekan.

Selanjutnya, sejak awal Mei 2019, ia tinggal bersama adiknya, Enok (50), di kampung tetangga, Kampung Pasirsalam.

Jaraknya hanya beberapa puluh meter dari rumah Mak Tiyah yang berada di lokasi bencana.

Di rumah adiknya ini, Mak Tiyah tinggal selama menjalankan bulan Ramadhan hingga beberapa hari setelah Hari Raya Idul Fitri 1440 Hijriyah.

Karena alasan sering banyak tamu, Mak Tiyah kembali pulang ke rumah panggungnya.

"Di rumah ini, emak masak sendiri dengan menggunakan tungku kayu bakar. Kayu bakarnya dapat dari cari-cari saja," ujar Mak Tiyah, yang juga dikenal sebagai guru mengaji.

Di rumah panggung tersebut, Mak Tiyah tinggal seorang diri. Suaminya, Masduki, sudah meninggal dunia sekitar 9 tahun lalu.

Sedangkan dua anaknya, Halimi (45) dan Yanah (40), masing-masing sudah berkeluarga.

Halimi tinggal di Benda, Kecamatan Cicurug, sedangkan Yanah masih di Kecamatan Nyalindung, hanya beda desa.

Kedua anaknya ini selama kampungnya dilanda bencana masing-masing hanya beberapa kali menjenguk.

Namun, dalam kesendirian, Mak Tiyah masih bisa berbuat sosial bagi orang lain.

Mak Tiyah setiap harinya menanak nasi dan lauk pauk seadanya untuk seorang santri remaja, Salimudin (19), yang duduk di bangku kelas XII SMA Negeri Nyalindung.

Salimudin ini, oleh Mak Tiyah dianggap seperti cucunya sendiri. Kegiatannya itu sudah berlangsung lebih tiga tahun, bahkan pada saat tertimpa bencana ini.

Sedangkan, Salimudin selain sekolah, juga menimba ilmu di Masjid Darussalam di kampung setempat.

"Bentar lagi Salim pulang sekolah. Setelah makan di sini, terus kembali ke masjid, belajar mengaji dan tidur di kobong (kamar)," tutur dia.

Daftar di hunian sementara

Mak Tiyah sudah mendaftatkan diri untuk ikut menempati rumah hunian sementara (huntara).

Saat ini, huntara sedang dalam proses pengerjaan yang dikelola atau dibangun oleh Pemerintah Kabupaten Sukabumi.

Rencananya, rumah huntara itu ditargetkan selesai Rabu 21 Agustus 2019 mendatang.

Meski pun masih sekitar sebulan lagi huntara selesai, namun, Mak Tiyah masih bersikeras untuk tinggal di rumah panggungnya.

"Kalau sudah selesai (huntara) Mak mau pindah," ujar dia sambil melipat-lipat selimut yang diterimanya dari bantuan.

Saat ditanya mengapa tidak tinggal sementara di pos pengungsian, Mak Tiyah menjawab tidak mau karena suasananya ramai. Dia mengatakan, ingin menikmati hidupnya dengan tenang.

"Mak ingin tiis ceuli herang panon (peribahasa Sunda yang artinya tenang dan tenteram-red)," jawab dia.

Kalau pun harus tinggal di pengungsian, Mak Tiyah mengusulkan ingin sendiri agar tidak terganggu dan mengganggu warga penyintas lainnya di pengungsian.

Ia ingin mengaji dan menunaikan shalat dengan tenang.

Keluarga khawatir

Adik Mak Tiyah, Enok (50), mengkhawatirkan kondisi kakaknya yang tetap bertahan tinggal di rumah panggungnya.

Meski Enok beserta suami dan anak-anaknya sudah menyediakan kamar, namun kakaknya tidak mau.

Bahkan, ada lahan kosong di belakang rumah yang sudah disediakan untuk memindahkan bangunan rumahnya.

"Kami sekeluarga selalu was-was, karena takut ada apa-apa dengan Mak Tiyah. Tapi, kami selalu siap menerima teteh (kakak) bila akan tinggal di sini dan berusaha terus menjenguknya," kata Enok, saat ditemui di rumahnya, Sabtu siang.

Sementara, Salimudin kepada Kompas.com saat ditemui di kobong Masjid Darussalam, Sabtu sore, menuturkan, dirinya sudah menganggap Mak Tiyah sebagai neneknya.

Karena Mak Tiyah sejak dia mulai tinggal di masjid telah menganggap dia sebagai cucu.

"Saya menginap di kobong masjid ini sekaligus ikut menjaganya. Ada beberapa teman juga, tapi warga sini. Jadi, kalau makan, mereka pulang ke rumahnya, kalau saya suka makan ke rumah Mak Tiyah," kata Salimudin, yang berasal dari Kampung Urugan desa setempat.

Dia menuturkan, hampir setiap hari, bila tidak ada kegiatan di sekolah dan masjid, selalu berusaha menjenguk Mak Tiyah.

Apalagi, pasca-bencana ini, dia juga ikut mengurusi keperluan Mak Tiyah untuk mengambilkan bantuan dari Kantor Desa Kertaangsana. 

"Kalau Mak Tiyah ingin pindah ke pos pengungsian saya siap membantunya. Dan alhamdulillah kalau di pengungsian bisa terus terpantau, saya juga bisa lebih dekat menjenguknya, karena lokasi dilintasi bila pulang pergi sekokah," ujar Salimudin.

Diberitakan sebelumnya, sedikitnya 40 unit rumah rusak terdampak bencana tanah bergerak di Kampung Gunungbatu, Desa Kertaangsana, Kecamatan Nyalindung, Sukabumi, Jawa Barat. Sementara, 115 rumah lainnya dalam kondisi terancam.

Selain itu, tanah bergerak ini mengakibatkan ruas Jalan Sukabumi-Sagaranten di kampung setempat anjlok dan mengancam 26 hektare lahan persawahan.

https://regional.kompas.com/read/2019/07/22/06185561/kisah-mak-tiyah-bertahan-menempati-rumah-panggung-di-zona-merah-tanah

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke