Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Arswendo Atmowiloto dan Novel tentang Perempuan di Pasar Klewer Kota Solo

Kompas.com - 20/07/2019, 06:46 WIB
Rachmawati

Penulis

Dilansir dari situsbudaya.id, sebelum ada pasar, jalur lurus dari barat ke timur dilewati Sinuhun Paku Buwono II beserta keluarga saat pindahan dari Keraton Mataram Kartasura yang hancur ke Keraton Surakarta Hadiningrat di Desa Sala pada 1744.

Ketika kereta api mulai masuk dan melintas di jalan protokol Solo pada 1923, kawasan ini pun berubah nama menjadi Pasar Slompretan.

Saat penjajahan Jepang pada 1942-1945, aktivitas pasar berhenti. Hidup susah menyebabkan masyarakat menjual kain-kain bekas demi sesuap nasi.

Nama klewer diambil karena banya pedagang yang menawarkan dagangannya pating klewer (merumbai).

"Pada tahun 1973, mantan asisten wedana Tiknopranoto mengungkapkan, dagangane pada disampirne ing pundak utawa dicangking (barang dagangann disampirkan di pundak atau ditenteng). Cara berniaga inilah yang melatarbelakangi istilah 'klewer' muncul, lalu dipakai hingga sekarang," jelas Heri.

Baca juga: Arswendo Atmowiloto, dari Penjaga Sepeda, Pemungut Bola, hingga Menjadi Sastrawan

Menurut Heri, di novel Canting, Asrwendo yang lahir di Surakarta berhasil menceritakan para perempuan yang menahkodai industri batik rumah tangga sehingga melahirkan indentitas yang melekat pada tubuh Pasar Klewer, sebagai pasar sandang yang tersohor di penjuru negeri.

Pasar Klewer Solo pernah mengalami kebakaran pada tahun 2014. Pasar ini berubah wajah dan kembali dihuni ratusan pedagang setelah selesai di  bangun pada tahun 2017.

Saat ini Pasar Klewer Solo telah menjadi pasar modern karena dilengkapi dengan lift.

Bukan hanya menjual sandang, di lantai tiga Pasar Klewer juga tersedia puluhan pedagang makanan yang menyajikan berbagai makanan khas Solo seperti selat solo dan dawet selasih serta beraneka jenis makanan lainnya.

"Perempuan yang diceritakan Arswendo di novelnya merupakan pondasi Pasar Klewer yang tak tampak. Semangat mbok mase tidak sebatas menyelimuti lingkungan Laweyan dan kampung batik lainnya di Solo, melainkan juga tertanam di pasar dan sukses menyulap situasi pasar gumrenggeng gedhe kumandange," jelasnya.

Baca juga: Tak Cuma Belanja, 5 Aktivitas Asyik Ini Bisa Dilakukan di Pasar Klewer Solo

 

Karya dan penghargaan

Beragam penghargaan diterima Arswendo di dunia kepenulisan.

Pada tahun 1972, ia memenangkan Hadiah Zakse atas esainya yang berjudul "Buyung-Hok dalam Kreativitas Kompromi".

Kemudian pada tahun 1972 dan 1973, naskah dramanya yang berjudul Penantang Tuhan dan Bayiku yang Pertama memperoleh hadiah harapan dan hadiah perangsang dalam Sayembara Penulisan Naskah Sandiwara DKJ.

Selain itu, karya Dua Ibu, Keluarga Bahagia, dan Mendoblang memenangkan ajang sastra Asean pada tahun 1981, 1985, dan 1987.

Baca juga: Arswendo Atmowiloto, Seniman Serba Bisa Pencipta Keluarga Cemara

Nama Arswendo Atmowiloto lekat dengan drama Keluarga Cemara. Drama keluarga ini populer di televisi Indonesia pada era 1990 hingga 2000-an awal. Dikutip dari Harian Kompas, 6 Januari 2019, kisah ini berawal dari buku yang ia tulis sejak tahun 1970-an.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com