KOMPAS.com – “Hidup ini hanya mampir ngombe, singgah minum. Terlalu singkat dibandingkan dengan hidup sebelum dan sesudah mati”
Sepotong kalimat tersebut di tulis Arswendo Atmowiloto pada novel Canting, sebuah roman keluarga yang cetak pertama kali pada Juli 1986.
Arswendo seorang seniman dan wartawan kelahiran Surakarta, 26 Novenber 19848. Ia meninggal dunia, Jumat (19/7/2019) sore, setelah melawan kanker prostat yang dideritanya.
Semasa hidupnya, ia sangat aktif menulis di berbagai majalah dan surat kabar, salah satunya di Harian Kompas. Tak hanya itu, ia juga menulis cerpen, novel, naskah drama, hingga skenario film.
Sebagai seorang sastrawan, Arswendo telah melahirkan puluhan karya sastra dan salah satunya adalah novel Canting.
Lelaki yang pernah menjadi pimpinan redaksi Majalah Hai tersebut selalu menyebut novel Canting sebagai roman keluarga.
Baca juga: Arswendo Atmowiloto Meninggal Dunia Usai Berjuang Melawan Kanker Prostat
Tokoh Pak Bei diceritakan Arswendo menikahi Tuginem, anak seorang buruh pabrik yang kemudian dikenal dengan nama Bu Bei. Mereka membesarkan usaha batik tulis dengan 112 buruh pabrik di rumahnya.
Dalam novel yang mengambil latar belakang tahun 1962, Arswendo menggambarkan secara detail suasana Pasar Klewer yang menjadi salah satu ikon Kota Solo.
Heri Priyatmoko, dosen sejarah Universitas Sanata Dharma saat dihubungi Kompas.com Jumat (19/7/2019) mengatakan pada novel tersebut Arswendo Atmowiloto menyediakan pemahaman lain atas Pasar Klewer.
Baca juga: Arswendo Atmowiloto, Deretan Karya dan Penghargaannya
Menurutnya lewat penokohan Bu Bei sang juragan batik, Arswendo mengungkapkan jika pasar tidak ubahnya sebagai asrama bagi atlet-atlet wanita sekaligus stadion tempat perlombaan diadakan.
"Sesungguhnya memahami sebuah kehidupan masyarakat (Pasar Klewer) secara lebih dalam lewat sebuah karya sastra, jauh lebih memberi kedalaman daripada setumpuk kepustakaan ilmiah dengan segala konsep dan bahasa yang amat ruwet dan kaku," jelas Heri.
Founder Solo Societeit itu juga mengatakan Arswendo berhasil menggambarkan peran ganda perempuan di kehidupan sosial pada masa itu.
"Kala surya menyapa, mereka di rumah memegang peran pembantu. Lalu, siang harinya di pasar wanita menjadi laki-laki, penentu keputusan jual-beli. Tesis Simone de Beauvoir bahwa perempuan sebagai the second sex, mengalami posisi termajinalkan dalam berbagai ruang, rontok sesudah kita menginjakkan ubin pasar sandang terbesar nomor dua di Indonesia itu," jelasnya.
Baca juga: Arswendo Atmowiloto dan Perjalanan Keluarga Cemara