Ia tidak bisa mengenali siapa yang datang. Matanya sudah rabun. Setiap ada suara di halaman rumahnya, ia menyebut nama Sumairah atau Sulihah.
Baca juga: Menderita Hernia, Kakek Ini Tinggal Seorang Diri di Gubuk Pinggir Sungai
Sulihah menceritakan, ibunya memang didera sakit lambung. Saat penyakit itu kambuh, ibunya akan teriak-teriak untuk menahan sakit.
Saat kondisi seperti itu, Sumairah harus pergi mencari utangan ke tetangganya untuk membeli obat pereda sakit lambung.
"Saya tidak tega kalau penyakit lambung ibu kambuh. Demamnya langsung naik. Meskipun utang, terpaksa saya jalani," ungkap Sulihah.
Kedua anaknya pun menceritakan, suatu waktu, demam Amur tidak turun selama dua hari. Sumairah kebingungan. Ia mengubungi adiknya, Sulihah.
Keduanya memutuskan untuk mendatangkan seorang perawat di desanya. Namun, segala biaya dan obat tidak ditarik biaya. Alasannya, perawat itu datang hanya sekedar membantu.
"Ada tetangga yang jadi perawat. Ia beberapa kali kami datangkan karena ibu sudah tidak bisa jalan. Alhamdulillah, perawat itu tidak pernah minta bayaran," ujar Sumairah.
Baca juga: Kisah Nenek Habsah Melipat Harapan di Gubuk Reyot dalam Kesendirian...
Hingga saat ini, Sumairah dan saudarinya terus berusaha bertahan semampunya untuk bertahan hidup.
Untuk kebutuhan belanja sehari-hari, Sumairah mengaku kadang seminggu hanya punya uang Rp 5.000.
Uang tersebut dibelanjakan untuk lauk ibunya. Untuk dirinya, sudah tidak dipikirkan. Yang didahulukan adalah ibunya.
Sulihah pun hanya bisa pasrah dan tidak mengharap bantuan dari pemerintah. Menurutnya, hingga saat ini belum pernah ada aparat dari desa atau kecamatan yang datang melihat kondisi Amur.
Hidup serba kekurangan, sudah lama dijalani Sulihah dan Amur serta anak-anaknya.
"Ada bantuan atau tidak ada, saya pasrah kepada Allah. Karena hidup dan mati itu di tangan-Nya," kata Sumairah.
Baca juga: Kisah Nenek 90 Tahun Setia Dulang Bijih Emas dan Ajar Warga Mengaji