Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Fakta di Balik Jeritan Kelaparan Nenek Amur, Didera Sakit Lambung hingga Pasrah pada Tuhan

Kompas.com - 06/07/2019, 07:30 WIB
Michael Hangga Wismabrata

Editor

KOMPAS.com - Di balik sebuah gubuk reyot di Dusun Janglateh Barat, Desa Campor, Proppo, Pamekasan, sering terdengar jeritan pilu nenek Amur.

Jeritan yang sudah diamini warga Dusun Janglateh sebagai tanda bahwa nenek Amur sedang didera sakit lambung atau kelaparan yang amat sangat.

Kondisi memprihatinkan tersebut sudah dijalani menahun oleh nenek Amur yang saat ini telah berusia 72 tahun.

Kedua anaknya, Sulihah dan Sumairah, pun tak bisa berbuat banyak. Hidup keduanya pun jauh dari kata makmur. Penuh himpitan ekonomi.

Berikut ini fakta lengkap di balik jeritan nenek Amur di Pamekasan:

1. Menjerit saat lapar dan sakit lambung kambuh

Ilustrasi sakit perut5432action Ilustrasi sakit perut

Warga Dusun Janglateh Barat sudah mengetahui jika nenek Amur menjerit-jerit, pertanda dirinya sedang lapar atau sakit lambungnya kambuh.

Hal itu diamini oleh Sumairah, salah satu putri Amur.

"Kalau saya bisa kuat menahan lapar. Ibu saya teriak-teriak kalau lapar," kata Sumairah kepada Kompas.com.

Sumairah juga menjelaskan, jika tahu ibunya lapar, dirinya akan segera memberi makan seadanya.

"Ibu saya kalau lapar sering teriak-teriak minta makan. Kalau kebetulan ada beras, saya memasaknya. Kalau tidak ada beras, saya rebus ketela yang diambil di kebun," terang Sumairah.

Baca juga: Kisah Pilu Nenek Amur, Sebatang Kara di Gubuk Reyot, Teriak-teriak Saat Lapar...

2. Hidup Nenek Amur penuh kekurangan

Ilustrasi miskin dan kayaerllre Ilustrasi miskin dan kaya

Nenek Amur memiliki tiga anak. Anaknya yang bernama Abdul Hadi, sudah meninggal tiga tahun yang lalu setelah menderita sakit keras pascapulang dari Malaysia menjadi TKI.

Lalu, dua anak lainnya, Sulihah dan Sumairah, tinggal di dusun yang sama. Mereka tinggal sekitar 200 meter dari rumah Amur. Kedua anaknya itu saat ini hidup menjanda dan bekerja serabutan.

Sementara itu, saat Kompas.com mendatangi rumah Amur. Rumah tersebut berukuran 4x3 meter, kondisinya pun sudah nyaris ambruk. Ternyata, Amur tak tinggal di rumah tersebut, namun di suraunya.

Ia tidak bisa mengenali siapa yang datang. Matanya sudah rabun. Setiap ada suara di halaman rumahnya, ia menyebut nama Sumairah atau Sulihah.

Baca juga: Menderita Hernia, Kakek Ini Tinggal Seorang Diri di Gubuk Pinggir Sungai

3. Didera sakit lambung selama 7 tahun

Ilustrasi sakit perut.Shutterstock Ilustrasi sakit perut.

Sulihah menceritakan, ibunya memang didera sakit lambung. Saat penyakit itu kambuh, ibunya akan teriak-teriak untuk menahan sakit.

Saat kondisi seperti itu, Sumairah harus pergi mencari utangan ke tetangganya untuk membeli obat pereda sakit lambung.

"Saya tidak tega kalau penyakit lambung ibu kambuh. Demamnya langsung naik. Meskipun utang, terpaksa saya jalani," ungkap Sulihah.

Kedua anaknya pun menceritakan, suatu waktu, demam Amur tidak turun selama dua hari. Sumairah kebingungan. Ia mengubungi adiknya, Sulihah.

Keduanya memutuskan untuk mendatangkan seorang perawat di desanya. Namun, segala biaya dan obat tidak ditarik biaya. Alasannya, perawat itu datang hanya sekedar membantu.

"Ada tetangga yang jadi perawat. Ia beberapa kali kami datangkan karena ibu sudah tidak bisa jalan. Alhamdulillah, perawat itu tidak pernah minta bayaran," ujar Sumairah.

Baca juga: Kisah Nenek Habsah Melipat Harapan di Gubuk Reyot dalam Kesendirian...

4. Tak tersentuh bantuan pemerintah

Ilustrasi KemiskinanKOMPAS/AGUS SUSANTO Ilustrasi Kemiskinan

Hingga saat ini, Sumairah dan saudarinya terus berusaha bertahan semampunya untuk bertahan hidup.

Untuk kebutuhan belanja sehari-hari, Sumairah mengaku kadang seminggu hanya punya uang Rp 5.000.

Uang tersebut dibelanjakan untuk lauk ibunya. Untuk dirinya, sudah tidak dipikirkan. Yang didahulukan adalah ibunya.

Sulihah pun hanya bisa pasrah dan tidak mengharap bantuan dari pemerintah. Menurutnya, hingga saat ini belum pernah ada aparat dari desa atau kecamatan yang datang melihat kondisi Amur.

Hidup serba kekurangan, sudah lama dijalani Sulihah dan Amur serta anak-anaknya.

"Ada bantuan atau tidak ada, saya pasrah kepada Allah. Karena hidup dan mati itu di tangan-Nya," kata Sumairah.

Baca juga: Kisah Nenek 90 Tahun Setia Dulang Bijih Emas dan Ajar Warga Mengaji

5. Kesaksian warga tentang nasib Amur

Ilustrasi kekurangan giziTHINKSTOCKPHOTOS.com Ilustrasi kekurangan gizi

Kabar tentang kondisi Nenek Amur membuat Fudholi, warga Pamekasan, datang untuk memberi bantuan alas kasur, sembako dan uang sekedarnya.

"Saya prihatin mendengar kehidupan Amur. Bersama kawan-kawan, saya kumpulkan uang untuk membantu Amur," ucap Fudholi, pemuda asal Kecamatan Palengaan, Pamekasan.

Bahkan, Fudholi dan kawan-kawannya, akan berusaha untuk merehab rumah tinggal Amur. Ia akan mengumpulkan donasi bersama kawan-kawannya.

"Mator kaso'on bentoana. Samoga etarema bik se kobesa Allah ta'ala. (Terima kasih bantuannya. Semoga diterima oleh Allah SWT)," kata Amur kepada Fudholi dengan bahasa Madura.

Baca juga: Kisah Nenek 70 Tahun Rawat Putrinya yang Lumpuh dan Tak Bisa Melihat

Sumber: KOMPAS.com (Taufiqurrahman)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com