Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Warga Bertahan Hadapi Kekeringan, Minum Air Keruh hingga Buat Kubangan di Dasar Sungai

Kompas.com - 27/06/2019, 05:00 WIB
Puthut Dwi Putranto Nugroho,
Khairina

Tim Redaksi



GROBOGAN, KOMPAS.com - Sudah dua bulan terakhir warga Desa Keyongan, Kecamatan Gabus, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah mengalami krisis air akibat kemarau.

Sumur tadah hujan yang menjadi andalan warga sebagai kantung air sudah kering kerontang.

Pun demikian juga dengan sungai di perkampungan terpencil ini yang menyusut berujung gersang.

Desa Keyongan adalah salah satu permukiman terpencil di Kabupaten Grobogan yang sudah menjadi langganan kekeringan saat kemarau. Lokasinya berbatasan langsung dengan Kabupaten Sragen, Jateng.

Baca juga: Kemarau Datang Lebih Awal, 7.000 Warga Terdampak Kekeringan

 

Dalam keseharian, untuk mencukupi kebutuhan air bersih, desa yang dihuni oleh sekitar 5800 jiwa ini cukup bersandar pada sumur tadah hujan. Selain itu, mereka juga bertumpu pada pasokan air dari sungai setempat.

Selama ini, Desa Keyongan memang tidak terakses pasokan air bersih dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM).

Terlebih lagi, Program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Pamsimas) juga belum efektif untuk membantu memenuhi kebutuhan air bersih warga Desa Keyongan.

Merujuk data dari pemerintah desa setempat, sejak tahun 2009 hanya sekitar 100 warga yang bisa menikmati fasilitas Pamsimas.

Kondisi pun menjadi memprihatinkan saat hujan tak lagi mengguyur pedesaan ini. Mereka benar-benar berada dalam situasi terpuruk akibat darurat air bersih. 

Para warga harus bersusah payah berburu setetes air dari dasar sungai yang mengering. Tanah tandus itu pun mereka gali seukuran tong sampah dengan harapan akan muncul cadangan air. 

Baca juga: 3 Desa di Bima Kekeringan, Polisi Kirim Pasokan Air Bersih ke Wilayah Terdampak

Rabu (26/6/2019) pagi, sejumlah warga Desa Keyongan yang didominasi anak-anak mengantre air dari beberapa kubangan yang telah mereka ciptakan di dasar sungai kering itu.

Rongga-rongga di dasar sungai itu biasa disebutnya dengan nama "belik". Di alur sungai yang gersang itu, warga sudah membuat sejumlah belik yang menampung resapan air sungai itu.

Setiap belik dimanfaatkan oleh ribuan warga sekampung untuk bergiliran. Meski airnya keruh, tidak ada pilihan lain, warga tidak mempersoalkannya. 

Lubang-lubang sedalam sekitar satu meter itu perlahan terisi air. Setelah penuh, air keruh itu diciduk menggunakan gayung dan diisikan ke ember, galon dan jeriken.

Beruntung bagi warga yang jarak rumahnya dekat dengan belik, mereka tak harus kerepotan mengangkut penampung-penampung air itu. 

Untuk memenuhi satu jeriken kemasan 40 liter dbutuhkan waktu paling cepat 10 menit.

Jeriken diangkut menuju rumah menggunakan motor, dan ada juga yang digendong dengan berjalan kaki. 

Seperti halnya Sri Murtini (58) yang mengaku kelimpungan harus bolak-balik menggendong jeriken dari belik menuju rumahnya.

Buruh tani yang hidup sebatang kara ini berjalan kaki sejauh hampir 1 kilometer dari belik menuju rumahnya.

Baca juga: Kemarau Datang, Air Bersih di Desa Marmoyo Jombang Mulai Terbatas

 

Meski kelelahan, ia terpaksa mengenyampingkan itu. Baginya, saat ini, yang terpenting kebutuhan akan air di rumahnya terpenuhi setiap hari.

"Sehari bolak-balik empat kali. Mau bagaimana lagi, tak ada air. Mau beli juga mahal bagi saya," ujar Sri.

Pagi ini Murtini tak sendiri, ia ikut mengantre di belik bersama dengan belasan pelajar SD. Bocah-bocah mungil itu secara mandiri mengambil air di belik untuk keperluan mandi sebelum berangkat sekolah. Tak terlihat raut muka muram dari anak-anak desa itu meski harus mengangkat ember yang telah penuh dengan air menuju ke rumah.

"Mau bantu bapak dan ibu, karena mereka harus ke sawah. Setiap pagi, kami bareng-bareng ambil air di belik. Airnya kotor, namun tak apa untuk minum dan mandi. Kami sudah biasa," tutur Rahayu (8), siswi kelas 3 SD asal Desa Keyongan.


Dikonsumsi

Kepala Desa Keyongan, Budi Hartono, menyampaikan, kemarau melanda desanya sudah sejak dua bulan ini.

Sementara warga yang hidup di garis kemiskinan terpaksa memanfaatkan belik untuk keperluan kebutuhan akan air. Budi berharap segera ada bantuan dari pemerintah untuk membantu memenuhi pasokan air bersih.

"Selain untuk mandi, air dari belik juga dikonsumsi setelah direbus. Kami berharap segera ada bantuan dari pemerintah. Untuk yang punya penghasilan lebih, mereka sih biasanya membeli air. Saat kemarau adalah mimpi buruk bagi kami. Tanah mengering dan tak ada sumber air. Kami berharap ada respons dari pemerintah," kata Budi.

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Grobogan, dr Slamet, mengatakan, mengonsumsi air dari belik tidak menjadi masalah asalkan direbus terlebih dahulu.

"Air dari belik bisa dikonsumsi kalau terpaksa yaitu dengan direbus," ujarnya.


Minim pasokan air

Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (Disperakim) Grobogan, M Chanif mengatakan, di Kabupaten Grobogan tercatat ada 273 desa dari 19 kecamatan.

Adapun program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Pamsimas) yang berlangsung sejak 2008 sudah berjalan di 150-an desa di Grobogan.

Melalui Pamsimas sudah terealisasi sumur, tandon, jaringan, dan sambungan (satu paket instalasi pamsimas) di masing-masing desa tersebut. Per satu unit atau sepaket Pamsimas dianggarkan Rp 300 juta. 

"Salah satu penyebab kegagalan itu yakni sumber air tanah. Hal itu merujuk pada riset geologi yang menyebut wilayah Kabupaten Grobogan adalah kawasan yang minim pasokan air tanah," kata Chanif.


Droping

Kepala BPBD Grobogan Endang Sulistyoningsih mengatakan, pertengahan Juni ini pihaknya sudah mulai melakukan droping air bersih ke sejumlah desa yang dilanda bencana kekeringan.  

Dalam penyaluran bantuan air bersih ini, pihaknya memiliki anggaran sekitar Rp 47 juta. Dana sebanyak ini, kata dia, hanya bisa digunakan untuk menyalurkan bantuan sekitar 236 tangki saja.

"Bertahap kami droping air. Total ada 236 tangki air bersih yang disiapkan untuk pelaksanaan droping air tahap awal ini. Ini tentunya kurang. Kami berharap dukungan semua pihak swasta dan sebagainya. Sebab kekeringan terjadi tiap tahun. Pada tahun 2018 lalu, ada 92 desa di 15 kecamatan yang mengalami bencana kekeringan," katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com