Suwoto, warga Pancer lainnya, juga menceritakan kisahnya selamat dari amukan tsunami Banyuwangi pada 1994.
Pria kelahiran tahun 1923 yang tinggal di tepi pantai ini bercerita, pada hari kejadian, sejak jam 3 sore, air laut yang seharusnya pasang tetap dalam kondisi surut hingga malam hari.
Surutnya air laut tersebut mengakibatkan banyak perahu nelayan kandas sehingga mereka tidak bisa melaut.
"Saya mbatin, pasti akan ada apa-apa. Air yang harusnya pasang, tetap surut. Sebelum tsunami juga tidak ada gempa karena saya belum tidur saat itu. Tiba-tiba saja air datang. Tingginya sekitar 7 meter. Cepat. Wusssh....hilang semua. Saat itu saya selamat karena terbawa air dan pegangan tong," katanya.
Baca juga: BNPB: Tantangan Indonesia Kembangkan Sistem Peringatan Dini Tsunami yang Dipicu Erupsi
Suwoto juga menunjukkan alat sirine sistem peringatan dini tsunami yang diletakkan di bagian belakang rumahnya yang dipasang pasca-tsunami. "Sayangnya alat ini (kini) rusak. Tidak berfungsi," jelasnya.
Tragedi tsunami 1994 di Banyuwangi disebut tragedi Jumat Pon karena terjadi pada Jumat Pon, menurut penuturan salah satu warga, Farida.
Menurut Farida, saat kejadian tahun 1994 itu dirinya baru berusia 10 tahun. Dia selamat karena terapung diatas kasur lalu ditemukan di atas pohon kelapa.
Tsunami 1994 menyisakan trauma bagi warga Pancer yang selamat. Sebab pada Kamis, 3 April 2014 warga Pancer dan sekitarnya harus mengungsi karena peringatan tsunami yang dikeluarkan pada Rabu (2/4/2014) yang dipicu gempa berkekuatan 8,8 SR di Cile yang terjadi pada Selasa (1/4/2014) malam waktu setempat.
Baca juga: Ade Jigo Ceritakan Kronologi Saat Diterjang Tsunami Selat Sunda
"Tahun 1994 tsunami terjadi pada Jumat Pon, lalu peringatan tsunami tahun 2014 itu juga Jumat Pon. Jadi saya dan keluarga tengah malam mengungsi di tahun 2014. Saya benar-benar trauma," jelas Farida.
Farida mengatakan, hingga saat ini banyak nelayan di Dusun Pancer memilih tidak melaut saat Jumat Pon karena trauma yang menghancurkan desa mereka.