Cara memanahnya juga berbeda. Mereka bersama-sama memanah sambil duduk bersila dalam beberapa putaran.
Penampilan pemanah juga berbeda, yakni memakai baju adat masing-masing daerah.
Seperti halnya dari Yogyakarta, para pria berblangkon, baju surjan maupun beskap, juga jarik.
Mereka ada yang menyelipkan keris si pinggng dan semua beralaskan sandal selop. Peserta perempuan juga demikian, mengenakan kebaya dan jarik. Beberapa bersanggul.
"Kami juga demikian, yang perempuan pakai kebaya dan bawahan kamen, sedangkan kepala ada payas lelunakan. Kalau pria mengenakan bawahan kamen, (baju) safari, kepala memakai udeng," kata Ayu Tarina Dewi.
Gladhen jemparing kali ini salah satu agenda dari Menoreh Art Festival 2018 yang berlangsung pada 7-27 Oktober 2018.
MAF terselenggara sebagai bagian dari memeriahkan hari jadi ke-67 Kulon Progo.
Sepanjang 20 hari, festival diisi beragam pentas budaya, baik lokal, kantung-kantung desa budaya, hingga daerah lain di luar DIY.
Baca juga: Mencoba Jemparingan di Lembang, Tradisi Memanah dari Zaman Kerajaan
Wakil Bupati Kulon Progo Sutedjo mengatakan, jemparingan bukan sekadar nguri-uri kabudayan atau melestarikan kebudayaan.
Jemparingan merupakan latihan fisik sekaligus batin tiap pelakunya. Metode memanah tradisional ini melatih ketenangan dan konsentrasi.
Dengan menggeluti jemparingan terus terbangun ketenangan dan kesabaran dalam menghadapi segala keadaan.
"Jemparing bukan sekadar memanah tapi mengolah rasa, bersila, konsentrasi, tapi juga membutuhkan perasaan sehingga menghasilkan ketenangan. Ketenangan ini merupakan filosofi utama agar bisa tepat sasaran, termasuk dalam mengambil keputusan," kata Sutedjo.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.