Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Merajut Asa di Tanah Datuk

Kompas.com - 01/03/2018, 09:58 WIB
Kontributor Medan, Mei Leandha,
Reni Susanti

Tim Redaksi

Ketua Lembaga Masyarakat Hukum Adat Teluk Aru Besitang (Lemhatabes), Abdul Hafis menyebut, ia dan beberapa anggota lembaga merupakan keturunan Datuk Besitang, Bunda Salahaji, Puak-puak yang berkaitan dengan masyarakat hukum adat.

Awal perjuangan pihaknya dari Kelompok Tani Maju Bersama. Namun selama berjuang tidak mendapatkan hasil.

"Latar belakang inilah yang membuat kami bergabung dengan Kedatukan Besitang. Bekerja sama memperjuangkan tanah milik kedatukan," ucap Hafis.

"Enam tahun lebih kami berjuang. Sekarang kami sedang mengajukan perda masyarakat hukum adat sesuai arahan menteri kehutanan, sampai diundangkan. Tidak ada alasan eksekutif atau legislatif menahannya. Kami tidak mau perda itu masuk angin," tambahnya.

Tengku Razifah Hafas, cucu dari Sultan Langkat Mahmud Abdul Jalil Rahmatsyah Aziz mengatakan, kesultanan memberikan tanah kepada Datuk Besitang untuk digunakan usaha rakyatnya.

Namun banyak oknum yang ingin menguasai lahan dan masyarakat tidak bisa berbuat apa-apa karena tidak punya sertifikat tanah.

"Sekarang, kalau ada yang mau menguasai tanah ini, mereka bisa melawan. Saking luasnya tanah Kedatukan Besitang ini, banyak yang ingin menguasai. Merasa memiliki karena mereka punya uang," ucap Razifah.

Datuk Besitang adalah panglima perang Kesultanan Langkat. Sudah terjalin ikatan persaudaraan antara Sultan Mahmud dengan Datuk Besitang.

Kuatnya ikatan persaudaraan, membuat Sultan Mahmud yang terkenal dermawan ini rela memberikan sebagian tanahnya untuk kesejahteraan rakyat Datuk Besitang.

"Saat ini kami melihat Langkat cukup menyedihkan. Makanya kami perjuangkan supaya sejarahnya bisa dikenang, jaya kembali. Replika istana Sultan Langkat kami dirikan di sini supaya masyarakat terus mengingatnya," imbuhnya.

Mantan anggota DPRD Sumut Samsul Hilal dalam orasinya mengatakan, perjuangan masyarakat kedatukan sudah diakomodir pemerintahan Joko Widodo. Caranya dengan memberi kesempatan untuk mendapatkan legalitas formal. 

"Tapi jangan kita tidur, tidak bisa berubah nasib ini hanya dengan menunggu. Nasi tidak bisa sampai ke mulut kalau tidak bekerja. Apalagi menyangkut tanah, ini hak hidup rakyat sejak kita merdeka," kata Samsul.

Menurutnya, 74 persen tanah Indonesia dikuasai pemilik modal, kapitalis, tuan-tuan kebun dan tambang.

Walaupun isi UUD 1945 pasal 33 ayat 3: bumi air dan udara dikuasai negara sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Namun hal itu tidak pernah menjadi kenyataan dan tidak ada partai yang ribut atau wakil rakyat yang protes.

"Dari 560 anggota parlemen kita, tidak ada yang mempersoalkan ini. Untuk apa mereka mewakili rakyat? Hari ini keberanian rakyat Kedatukan Besitang muncul, mereka berjuang melegalkan tanah yang puluhan tahun dikuasai TNGL," ucapnya berapi-api.

Dirinya mendukung penuh perjuangan merebut tanah Kedatukan Besitang.

"Kuasai dan duduki. Tanami yang bermanfaat, jangan sawit. Kalau ada penegak hukum yang datang kemari, hadapi. Tapi tidak usah berkelahi. Saya akan sering datang kesini. Bagi saya, di mana ada rakyat yang tertindas, di situ saya berada," tegasnya disambut tepuk tangan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com