Panen pun bisa dilakukan dua hingga tiga kali dalam setahun pada satu sarang. Karena pada saat panen hanya diambil bagian kepala sarang, sehingga lebah kembali lagi dan meneruskan sarang yang masih ada untuk memproduksi madu.
"Kalau dulu panen setahun hanya satu kali, setelah itu enggak ada panen lagi," papar Uge.
Dari sisi ekonomis, dulu madu hutan dari masyarakat sangat murah dan hanya setara dengan harga satu kilogram gula pasir.
Keberadaan APDS mendongkrak harga madu di pasaran yang tentunya diiringi dengan peningkatan dan kualitas madu itu sendiri, termasuk teknik panen lestari.
Saat ini, APDS bersama beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) membentuk konsorsium Dian Tama membangun rumah produksi madu di dusun Batu Rawan, Kecamatan Selimbau, Kabupaten Kapuas Hulu.
Konsorsium tersebut terdiri dari enam lembaga, yaitu Yayasan Dian Tama, Perkumpulan Kaban, Yayasan Riak Bumi, LPS AIR, Kompakh dan APDS.
Dana pembangunan rumah produksi tersebut berasal dari Millennium Challenge Account Indonesia ( MCA-Indonesia), yang merupakan lembaga wali amanat yang dibentuk oleh pemerintah Indonesia sebagai pelaksana program bantuan dari Amerika.
Rumah produksi ini dibangun dalam program pengelolaan sumber daya alam (PSDA) berbasis masyarakat oleh Proyek Pengelolaaan Sumberdaya Alam Hutan Rawa Gambut dan Pemanfaatan Energi Terbarukan untuk Meningkatkan Produktivitas Produk-produk Unggulan Masyarakat di Kabupaten Kapuas Hulu yang dikelola Konsorsium Dian Tama.
"Rumah produksi itu nantinya akan digunakan untuk mengolah madu dan turunannya dan pengolahan ikan yang menjadi mata pencaharian utama masyarakat di Semangit," pungkas Uge.
Rumah produksi tersebut mulai dibangun pada Oktober 2017 dan diharapkan akan selesai dan bisa digunakan pada Januari 2018.