Salin Artikel

Panen Madu Hutan di Kapuas Hulu, Kearifan Lokal Menyesuaikan Zaman

Presiden Asosiasi Periau Danau Sentarum (APDS) Basriwadi mengatakan, masyarakat yang tinggal di kawasan danau menyadari betul hal tersebut.

Sebab, Danau Sentarum punya keunikan alami yang memiliki dua fase, yaitu tergenang air sepanjang musim hujan dan kering pada saat musim kemarau. Bahkan, saat musim kemarau bisa menggunakan kendaraan bermotor melintasi kawasan danau.

"Ancaman terbesar dari populasi lebah Apis dorsata ini adalah kebakaran hutan," ujar Basriwadi yang akrab disapa Uge ini, akhir Oktober 2017.

Ketersediaan madu sangat bergantung pada keberadaan lebah tersebut. Sebaliknya, kemunculan lebah juga bergantung pada ketersediaan pakan.

Uge mengatakan, keberlangsungan hidup lebah-lebah tersebut tidak lepas dari pengamanan kawasan taman nasional.

Pada musim kemarau, masyarakat setempat bahu-membahu menjaga hutan agar tidak terbakar.

Sepanjang musim kemarau, masyarakat selalu diimbau untuk tidak membuat api saat beraktivitas di kawasan danau, termasuk membuang puntung rokok sembarangan.

"Kalau sampai terbakar, pakan lebah juga ikut terbakar, sehingga tidak ada madu," kata Uge.

Sebelum APDS berdiri pada 2006, kata Uge, sering terjadi kebakaran hutan. Setelah APDS terbentuk, kejadian kebakaran itu berkurang.

Saat ini APDS beranggotakan 15 kelompok periau dengan total anggota mencapai 356 orang.

Sebelum mengenal teknik panen lestari, masyarakat biasa memanen madu hutan pada malam hari. Mereka panen dengan mengambil semua bagian sarang tanpa menyisakan sedikit pun untuk lebah agar kembali bersarang.

"Jadi anak lebah itu banyak yang mati karena ketika panen malam hari lebahnya jatuh ke air. Sulit bagi lebah untuk menggapai tempat hinggap pada malam hari," kata Uge.

Setelah APDS terbentuk dan teknik panen lestari diperkenalkan, proses panen pun dilakukan pada siang hari. Dengan begitu, lebah bisa terbang mencari tempat hinggap sementara dan akan kembali lagi ke sarang ketika proses panen sudah selesai.

Panen pun bisa dilakukan dua hingga tiga kali dalam setahun pada satu sarang. Karena pada saat panen hanya diambil bagian kepala sarang, sehingga lebah kembali lagi dan meneruskan sarang yang masih ada untuk memproduksi madu.

"Kalau dulu panen setahun hanya satu kali, setelah itu enggak ada panen lagi," papar Uge.

Keberadaan APDS mendongkrak harga madu di pasaran yang tentunya diiringi dengan peningkatan dan kualitas madu itu sendiri, termasuk teknik panen lestari.

Saat ini, APDS bersama beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) membentuk konsorsium Dian Tama membangun rumah produksi madu di dusun Batu Rawan, Kecamatan Selimbau, Kabupaten Kapuas Hulu.

Konsorsium tersebut terdiri dari enam lembaga, yaitu Yayasan Dian Tama, Perkumpulan Kaban, Yayasan Riak Bumi, LPS AIR, Kompakh dan APDS.

Dana pembangunan rumah produksi tersebut berasal dari Millennium Challenge Account Indonesia ( MCA-Indonesia), yang merupakan lembaga wali amanat yang dibentuk oleh pemerintah Indonesia sebagai pelaksana program bantuan dari Amerika.

Rumah produksi ini dibangun dalam program pengelolaan sumber daya alam (PSDA) berbasis masyarakat oleh Proyek Pengelolaaan Sumberdaya Alam Hutan Rawa Gambut dan Pemanfaatan Energi Terbarukan untuk Meningkatkan Produktivitas Produk-produk Unggulan Masyarakat di Kabupaten Kapuas Hulu yang dikelola Konsorsium Dian Tama.

"Rumah produksi itu nantinya akan digunakan untuk mengolah madu dan turunannya dan pengolahan ikan yang menjadi mata pencaharian utama masyarakat di Semangit," pungkas Uge.

Rumah produksi tersebut mulai dibangun pada Oktober 2017 dan diharapkan akan selesai dan bisa digunakan pada Januari 2018.

https://regional.kompas.com/read/2017/11/05/12463101/panen-madu-hutan-di-kapuas-hulu-kearifan-lokal-menyesuaikan-zaman

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke