Jika sebagian masyarakat membandingkan Pulau Nusakambangan sebagai Alcatraz-nya Indonesia, bisa benar. Jika dilihat sekilas, keamanan alami di sekeliling pulau ini hampir tanpa celah.
Sistem penjagaan yang dibangun oleh aparat sipir setempat, membuat siapa pun yang mendekam di sana terisolir dari dunia luar.
Pengunjung yang hendak menjenguk rekan kerabat atau sanak famili yang menjalani masa tahanan di sana pun harus mengikuti serangkaian mekanisme pemeriksaan yang panjang di kantor Dermaga Wijayakusuma, Cilacap. Tidak terkecuali wartawan dan anggota TNI.
Penjagaan yang ketat oleh para petugas tidak pandang bulu.
Untuk sampai di Dermaga Sodong, Pulau Nusakambangan, hanya ada satu akses transportasi yang tersedia, yakni kapal feri "Pengayoman" yang dikelola oleh Kementerian Hukum dan HAM. Sebab, tidak ada satu pun kapal komersial maupun pribadi yang diizinkan berlabuh di kedua dermaga khusus itu, selain kapal Pengayoman.
Menjelang pukul 11.00 WIB, dari kejauhan kapal Pengayoman berjalan mendekat hingga kemudian berlabuh di Dermaga Wijayakusuma. Begitu pintu rampa dari kapal berjenis roll on-roll off ini terbuka, dengan sigap dua orang awak kapal melompat dan berlari ke tiang pancang untuk menambatkan tali jangkar.
Setelah posisi kapal stabil, satu per satu penumpang yang sudah menunggu sejak pagi naik bergantian. Beberapa ada yang membawa kendaraan seperti sepeda motor, sementara pembesuk telah disediakan fasilitas bus khusus di seberang, yang siap mengantar ke lapas tujuan.
Setelah semua logistik dinaikkan ke geladak, para penumpang beranjak ke dek di lantai dua. Dari sana, pemandangan Pulau Nusakambangan yang ternyata hanya sepelemparan batu itu menjadi semakin jelas.
Penyeberangan pun dimulai, kapal Pengayoman yang kami tumpangi bergerak mundur dari bibir dermaga. Senyum kecil terbit dari para pembesuk yang berbaur. Harapan untuk melipur rindu dengan sanak famili hanya tinggal sejengkal lagi.
Tidak butuh waktu lama, hanya 15 menit perjalanan menyeberangi Selat Segara Anakan, kapal telah sampai di tujuan, Dermaga Sodong, Nusakambangan.
Para pembesuk yang telah bersiap berhamburan begitu pintu geladak dibuka. Mereka berlarian menuju sebuah bus khusus yang disediakan petugas untuk mengantar sampai ke lapas tujuan.
Begitu kaki menapak di pulau Nusakambangan, mata tertuju pada sebuah gapura jingga bertuliskan “Pemasyarakatan Nusakambangan”. Hati bergetar membaca kalimat itu. Pun ketika berjalan 20 langkah hingga berada di bawah gapura tersebut.
Sejenak terlintas di bayang-bayang, betapa berharganya 20 langkah tadi.
Pesantren kilat
Sesampainya di Dermaga Sodong, timdisambut sebuah mobil hardtop milik petugas sipir yang siap mengangkut kami menuju Lapas Batu.
Masing-masing orang bergegas meloncat ke bak terbuka di belakang. Roda mobil lalu mulai berputar menjelajah aspal berlubang menuju tempat tujuan.
Matahari mulai meninggi, panas terik di perjalanan seolah hilang begitu sampai di gerbang Lapas Batu. Dari balik bangunan berdinding tinggi itu, sayup-sayup terdengar lantunan ayat-ayat kitab suci yang menggema ke sudut-sudut ruangan lobi.
Sedikitnya 75 napi kelas kakap turut berpartisipasi dalam pesantren kilat yang dilaksanakan dari 29 Mei sampai 21 Juni mendatang. Kegiatan pesantren sendiri dilaksanakan setiap hari Senin sampai Kamis pukul 09.00-11.30 WIB.
Dalam programnya, ada beberapa kegiatan yang masuk ke agenda pesantren, di antaranya one day one juz, praktik pengajaran ibadah, hingga cerdas cermat.
“Sementara materi pengajarannya yakni soal ketauhidan, maknawiyah, pengurusan jenazah, dan kita selipkan juga masalah kebangsaan,” kata Abdul.
Dia menyebutkan, ada empat napi terorisme yang mengikuti kegiatan pesantren Ramadhan, dua di antaranya Ahmad Setyono dan Rizki Gunawan.
Rizky adalah seorang peretas yang menarik dana miliaran rupiah untuk menyokong kegiatan militer Poso, sekaligus turut terlibat dalam pendanaan pengeboman Gereja Kepunton, Solo, pada 25 September 2011.
“Penceramah didatangkan dari luar. Beberapa napi memang ada yang mengisi kultum ketika tarawih. Tapi khusus untuk napi terorisme dilarang sama sekali, mereka hanya boleh menjadi imam shalat,” ujarnya.
(Baca juga: Ramadhan di Lapas Nusakambangan, Napi Kasus Terorisme Jadi Imam Shalat Tarawih)
Di Lapas Batu, tim diperbolehkan untuk mengambil gambar sekaligus berinteraksi dengan para napi di sana.
Salah satu narapidana di Lapas Batu Nusakambangan, Abdul Fatah, mengatakan, keberadaan pesantren sangat membantu, terutama untuk mengolah ketenangan jiwa dalam menjalani masa hukuman di lapas.
“Dengan pengetahuan agama yang baik juga dapat meminimalisasi hal-hal yang kurang baik, sesuai dengan aturan di lapas,” tuturnya.
Abdul Fatah merupakan terpidana seumur hidup atas kasus pembantaian Wakil Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Bondowoso, Suwardjo beserta keluarganya medio tahun 2004 silam.
Dia berharap, upaya dari para warga binaan untuk selalu berkelakuan baik juga mendapat perhatian dari penyelenggara peradilan di Indonesia.
“Kami berharap, para napi yang mendapat vonis hukuman mati dan seumur hidup agar segera ditinjau kembali. Sebab, selama lima tahun menjalani masa hukuman, kami telah berkelakuan baik,” katanya.
Bersambung: Mengintip "Keangkeran" Pulau Nusakambangan (2)