KOMPAS.com - Sebanyak 27 pengungsi Rohingya —yang pernah diselamatkan dari kapal mereka yang terbalik di perairan Aceh Barat— pergi meninggalkan tempat penampungan sementara pada Sabtu (01/06).
Keberadaan mereka sejauh ini belum diketahui. Namun Arakan Project dan Yayasan Geutanyo —dua lembaga swadaya yang fokus pada isu Rohingya— menduga para pengungsi pergi ke Malaysia dengan bantuan penyelundup.
Kasus ini menunjukkan bagaimana Indonesia “semakin menjadi jalur penyelundupan pengungsi Rohingya” yang sebenarnya bertujuan ke Malaysia, kata Direktur Arakan Project, Chris Lewa.
Di sisi lain, dia menilai pemerintah Indonesia tidak berbuat banyak dan terkesan "menutup mata" atas maraknya penyelundupan manusia terjadi.
Baca juga: 3 Penyelundup Pengungsi Rohingya ke Aceh Divonis 8 dan 6 Tahun Penjara
Pola ini justru semacam menjadi “jalan tengah tidak resmi” yang mengurangi beban Indonesia menangani pengungsi Rohingya.
“Sejujurnya saya sedikit khawatir karena Aceh, dan Indonesia [secara umum], telah semakin menjadi tempat penyelundupan,” kata Chris Lewa kepada BBC News Indonesia.
“Di satu sisi, saya merasa bagi Indonesia pun ada perasaan senang ketika para pengungsi ini pergi, jadi tidak perlu mengurusi mereka lagi. Persoalannya, pola ini menjadi semakin mudah dan lebih banyak orang yang mencobanya, lalu semuanya semakin tidak terkontrol lagi,” jelas Lewa.
Satuan Tugas Penanganan Pengungsi Luar Negeri Kementerian Politik Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam) mengatakan bahwa keputusan para pengungsi untuk pergi, apalagi ke luar wilayah Indonesia, telah melampaui batas kewajiban pemerintah.
Menurut catatan Badan PBB untuk Pengungsi (UNHCR), sebanyak 920 pengungsi Rohingya telah meninggalkan kamp di Aceh sejak Januari 2024.
Baca juga: Imigran Rohingya Kabur Bukan Tanggung Jawab Pemkab Aceh Barat
Saat ini, tersisa 1.078 pengungsi di sejumlah tempat penampungan di Aceh yang datang dalam sejumlah gelombang pada sejak November lalu.
Perwakilan UNHCR untuk Indonesia, Ann Maymann, mengatakan pihaknya telah mengingatkan para pengungsi soal risiko dan bahaya yang mengintai jika melakukan perjalanan dengan bantuan penyelundup.
“Tapi apa lagi yang bisa mereka lakukan? Ada anak-anak yang berada di Aceh dan orang tua mereka di Malaysia. Satu-satunya opsi adalah mereka harus pergi diam-diam kalau ingin berkumpul kembali dengan orang tuanya," kata Maymann kepada BBC News Indonesia, Selasa (04/06).
"Itu karena negara-negara di wilayah ini tidak mendukung keluarga-keluarga ini bertemu kembali,” tuturnya.
Petugas kemudian menemukan tenda-tenda tempat tinggal mereka sudah kosong. Dari foto-foto yang diambil pasca-kejadian, hanya tersisa pakaian dan barang-barang mereka.
Arsil mengatakan bahwa petugas tidak mengetahui bagaimana para pengungsi tersebut meninggalkan tempat penampungan.
“Seperti biasa, petugas melakukan patroli pukul 01.00 WIB, mereka masih ada. Cuma malam itu hujan deras jadi anggota piket istirahat. Terus paginya pas apel sekitar pukul 06.30 WIB, kami cek ternyata sudah kosong,” kata Arsil.
Baca juga: Pengungsi Rohingya Kabur di Aceh Barat, Aktivis Sebut Ada Pembiaran
Menurut Arsil, pihaknya tidak memiliki wewenang untuk mencari para pengungsi begitu mereka meninggalkan tempat penampungan.
Keberadaan dan nasib mereka belum diketahui hingga Selasa (04/06). Baik UNHCR, Polres Aceh Barat, hingga Pemerintah Kabupaten Aceh Barat mengaku belum menemukan para pengungsi.
Sebelumnya, ada 75 pengungsi yang ditampung di kamp ini. Namun mereka semua telah meninggalkan kamp secara bertahap sebanyak sembilan kali. Dua kali di antaranya sempat digagalkan oleh petugas.
27 pengungsi ini adalah kelompok terakhir yang tersisa. Sehari setelah mereka pergi, tenda-tenda penampungan sementara itu pun ditutup karena tidak ada satu pun yang bertahan.
Sebagai gambaran, sebanyak 75 pengungsi yang sempat ditampung di kamp ini merupakan orang-orang yang diselamatkan dari kapal mereka yang terbalik di perairan Aceh Barat pada 20-21 Maret 2024.
Baca juga: Kondisi Tenda Penampungan Usai Semua Pengungsi Rohingya di Aceh Barat Kabur
Belasan jasad pengungsi kemudian ditemukan terombang-ambing di perairan Aceh. Laporan BBC News Indonesia saat itu menggambarkan itu sebagai "kecelakaan pengungsi terfatal" di Asia Tenggara sepanjang 2024.