Setelah itu, 75 orang yang selamat ditempatkan di Gedung Palang Merah Indonesia (PMI), namun ditolak oleh warga.
Itulah mengapa mereka akhirnya ditempatkan di tenda darurat di kawasan Kantor Bupati Aceh Barat sejak 26 Maret 2024.
Baca juga: Semua Pengungsi Rohingya di Aceh Barat Kabur dari Tempat Penampungan
Belakangan diketahui bahwa kedatangan para pengungsi ini ternyata melibatkan campur tangan sejumlah warga lokal Aceh.
Dilansir kantor berita Antara, empat warga didakwa karena menyelundupkan para pengungsi tersebut ke wilayah Indonesia.
Keempatnya memindahkan para pengungsi dari kapal lain di perairan Myanmar ke kapal mereka untuk menuju Aceh. Namun keempatnya sempat melarikan diri ketika kapal dihantam badai, lalu ditangkap di lokasi berbeda.
Anggota Satgas Penanganan Pengungsi Luar Negeri Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam), Eros, mengatakan bahwa pemerintah “aktif mencari dan memantau” keberadaan mereka.
“Tapi tidak sampai menelusuri ke tempat-tempat pelosok, kami menunggu informasi terkini dulu saja,” kata Eros ketika dihubungi.
Baca juga: Ditolak Warga, 62 Rohingya Dipindah ke Kantor Camat Tanjung Pura
Eros mengatakan bahwa pada kasus-kasus sebelumnya, para pengungsi biasanya menuju Pekanbaru untuk bertolak ke Malaysia. Hanya saja terkait kelompok yang baru saja pergi ini, dia mengaku belum mendapat informasi soal keberadaan mereka.
Menurutnya, bukan kewajiban pemerintah Indonesia untuk “menjaga mereka supaya tidak kabur”.
“Pada akhirnya mereka sendiri yang memilih untuk pergi, ini kan melampaui batas kewajiban kami,” tutur Eros.
Menurut Chris Lewa, para pengungsi Rohingya sejak awal tidak berniat untuk bertahan di Indonesia. Ada beragam faktor penyebabnya.
Banyak dari para pengungsi ini memiliki keluarga yang lebih dulu sampai di Malaysia. Keluarga mereka inilah yang membiayai jasa para penyelundup.
Dalam beberapa kasus, ada pula para gadis yang pergi untuk menikah dengan laki-laki yang menanti di Malaysia.
Di saat yang sama, otoritas Malaysia telah menolak pendaratan para pengungsi Rohingya. Indonesia menjadi satu-satunya “tempat aman” yang masih mengizinkan mereka mendarat.
“Meskipun pemerintah Indonesia selalu membuat prosesnya rumit. Tetapi setelah itu, mereka akan mendapat bantuan dari siapa pun, dari LSM dan lain-lain. Itu memberi mereka waktu untuk menegosiasikan perjalanan mereka selanjutnya ke Malaysia,” kata Lewa.
Baca juga: Kronologi 51 Pengungsi Rohingya Tiba di Langkat, Nahkoda Kabur, Sempat Berjalan di Hutan
Di Indonesia, mereka ditampung di kamp-kamp darurat yang sifatnya sementara dan diberikan atas dasar "kedaruratan kemanusiaan".
Sejumlah kamp bahkan berada di tempat terpencil (seperti di Kuala Langkat) dan sulit dipindahkan karena ada penolakan warga.
Jalur ilegal dengan bantuan penyelundup adalah satu-satunya opsi yang mungkin ditempuh oleh para pengungsi untuk mencari peluang kehidupan yang baru.
Sejauh ini, aparat hukum di Indonesia telah menangkap sejumlah warga lokal yang terlibat dalam penyelundupan pengungsi Rohingya.
Para tersangka ini adalah orang-orang lokal yang berperan sebagai kurir dan pengangkut para pengungsi. Mereka dibayar beberapa juta rupiah untuk itu.
Namun di luar penangkapan pelaku-pelaku kecil itu, Lewa menilai belum ada upaya yang cukup serius untuk menangani isu penyelundupan manusia ini.
“Di satu sisi, saya merasa bagi Indonesia pun ada perasaan senang ketika para pengungsi ini pergi, jadi tidak perlu mengurusi mereka lagi. Persoalannya, pola ini menjadi semakin mudah dan lebih banyak orang yang mencobanya, lalu semuanya semakin tidak terkontrol lagi,” jelas Lewa.
Baca juga: Pengungsi Rohingya dari Perairan Malaysia Mendarat di Langkat, Warga Menolak
"Para penyelundup ini juga pintar, mereka mengirim para pengungsi menggunakan kapal-kapal kecil pada malam hari. Mereka tahu di mana polisi berada, mungkin dari informan mereka. Jalur pantainya pun sangat panjang, bagaimana bisa dicegah secara efisien?" papar Lewa.