PELOSOK. Kata itu terlontar dari mulut Armos (36) saat mendeskripsikan Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Wini, Nusa Tenggara Timur.
Armos adalah sopir yang membawa saya, reporter Kompas.com Baharudin Al Farisi, beserta tim Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), dari Kota Kupang menuju PLBN Wini, Kamis (16/11/2023).
"Tidak terkenal. Hanya dikenal daerah perbatasan," ujar Armos, santai.
Jawaban Armos bikin penasaran, mengalahkan rasa lelah saya usai menempuh tiga jam perjalanan membelah langit dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta ke Bandara Internasional El Tari Kupang.
Rupanya, kalimat Armos belum selesai.
Baca juga: PLBN Sota: Dulu Hanya Gapura yang Dijaga TNI, Kini Megah dengan 12 Bangunan
Armos terus bercerita sepanjang Toyota Innova hitam yang ia kemudikan melaju 80-100 kilometer per jam menembus Jalan Timor Raya, akses utama dari Kupang menuju PLBN yang diresmikan Presiden Jokowi, Januari 2018.
"Tetapi setelah ada PLBN (Wini), wisatawan mulai banyak yang datang ke sana," lanjut dia, menyunggingkan senyum.
Cerita Armos tentang Wini sepanjang kami membelah Pulau Timor lagi-lagi membuat hati penasaran.
Bahkan, lebih bikin penasaran bila dibandingkan dengan kelanjutan alur cerita serial "Gadis Kretek" yang baru saya tonton tiga episode di dalam pesawat menuju Kupang.
Sepanjang perjalanan menuju PLBN Wini, saya tak henti bertanya soal apa pun yang baru saja kami lewati.
Adapun jarak antara Kupang dengan PLBN Wini mencapai 240 kilometer. Waktu tempuhnya sekitar enam jam. Bisa kurang, bisa pula lebih, bergantung kondisi kendaraan dan penumpangnya.
Baca juga: Duduk Perkara Rumor Miring di Sota, Perbatasan Paling Timur Indonesia
Di tempat ini, terdapat sebuah bangunan dua lantai yang mirip rumah adat Lopo. Saking miripnya, atap bangunan itu menggunakan daun lontar yang sudah dikeringkan.
Ari (21), sopir lain yang mengantarkan kami ke PLBN Wini, bercerita, bangunan mirip rumah adat Lopo itu dikhususkan bagi para pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Lantai duanya digunakan tamu untuk menyantap hidangan.
"Sebenarnya di sini bagus, tapi mereka (para pelaku UMKM) yang membuatnya kotor. Mereka malah masaknya di luar, membuka lapak di luar, padahal sudah disediakan. Tempat makan juga sudah ada di atas," keluh Ari.