SEMARANG, KOMPAS.com - Pengunjung Kota Lama Semarang tampak hilir mudik malam itu, Senin (30/5/2022). Tak sedikit orang yang berkunjung memasuki Pasar Klitikan atau sering disebut pasar barang antik di Kota Lama Semarang, tepatnya di belakang Gereja Blenduk.
Ada pengunjung yang membeli atau sekedar melihat koleksi-koleksi barang antik. Namun tak sedikit yang hanya mampir untuk berfoto.
Ketika masuk ke Pasar Klitikan melalui pintu bagian Utara, pengunjung akan disambut sejumlah hiasan wayang dengan bentuk yang berbeda.
Di sana ada Rofiq, seorang pegiat seni yang juga penjual barang antik di Kota Lama Semarang. Sembari menyeleksi barang-barang antik di kursi depan pintu, Rofiq bercerita tentang perjalanannya melestarikan wayang suket di Kota Semarang.
Dulunya, Rofiq hanya ingin belajar lantaran dirinya melihat banyak rumput yang tumbuh di lingkungan rumahnya. Selain itu karena memiliki ketertarikan dalam bidang seni, maka Rofiq mencoba membuat wayang suket sederhana.
“Wayang suket ini tidak ada di keraton. Biasanya tumbuhnya di pedesaan, lingkungan masyarakat kecil, menengah ke bawah,” kata Rofiq kepada Kompas.com, Senin (30/5/2022) malam.
Baca juga: Kisah Penumpang Selamat KM Ladang Pertiwi, 16 Jam Bertahan di Atas Tripleks dengan Sebotol Air Minum
Ternyata untuk mengembangkan wayang suket dari bentuk sederhana ke bentuk lebih besar tidak semudah membalikkan tangan. Pasalnya, Rofiq membutuhkan waktu selama empat tahun untuk belajar.
Menurut Rofiq, dulunya Wayang Suket hanya digunakan sebagai media sembahyangan. Konon, ada satu ritual yang menggunakan perantara wayang suket. Ketika ada orang meninggal, wayang suket ini sering digunakan untuk memanggil arwah agar tidak tersesat.
“Tapi terus berkembang. Makanya sekarang bentuknya jadi macem-macem,” imbuh Rofiq.
Hebatnya, hingga saat ini, Rofiq telah menyelesaikan berbagai macam pesanan. Lebih jelas Rofiq mengatakan, pertama kali, dirinya menerima pesanan dari seorang dalang untuk membuat 15 karakter untuk cerita Ramayana dan Mahabarata.
“Karena sering membuat, akhirnya berkembang sampai bisa bikin karakter binatang,” tutur Rofiq.
Seiring berjalannya waktu, Rofiq kembali menerima pesanan untuk membuat 36 karakter binatang. Tidak lama setelah itu, dari Museum Gubug Wayang Mojokerto menghubungi Rofiq untuk membuat 100 karakter binatang endemik Indonesia.
“Ini menceritakan tentang kancil. Kancil di sini diibaratkan sebagai rakyat kecil. Karena ceritanya nyambung, nanti diruntutkan sampai akhirnya kancil menang. Jika ini selesai, nanti bisa kita wariskan ke anak cucu kita,” jelas Rofiq.
Tidak ingin kalah berkontribusi, Rofiq sudah mempersiapkan hadiah untuk Kota Semarang yaitu sepasang karakter "Denok Kenang".
Bagi masyarakat Semarang, Denok/ Nok/ Sinok merupakan panggilan untuk remaja putri. Sedangkan Kenang/ Nang/ Sinang, panggilan khas untuk remaja putra di daerah Semarangan.