Salin Artikel

Kisah Rofiq, Lestarikan Wayang Suket meski Tak Bisa Berharap Lebih

Ada pengunjung yang membeli atau sekedar melihat koleksi-koleksi barang antik. Namun tak sedikit yang hanya mampir untuk berfoto.

Ketika masuk ke Pasar Klitikan melalui pintu bagian Utara, pengunjung akan disambut sejumlah hiasan wayang dengan bentuk yang berbeda.

Di sana ada Rofiq, seorang pegiat seni yang juga penjual barang antik di Kota Lama Semarang. Sembari menyeleksi barang-barang antik di kursi depan pintu, Rofiq bercerita tentang perjalanannya melestarikan wayang suket di Kota Semarang.

Dulunya, Rofiq hanya ingin belajar lantaran dirinya melihat banyak rumput yang tumbuh di lingkungan rumahnya. Selain itu karena memiliki ketertarikan dalam bidang seni, maka Rofiq mencoba membuat wayang suket sederhana.

“Wayang suket ini tidak ada di keraton. Biasanya tumbuhnya di pedesaan, lingkungan masyarakat kecil, menengah ke bawah,” kata Rofiq kepada Kompas.com, Senin (30/5/2022) malam.

Ternyata untuk mengembangkan wayang suket dari bentuk sederhana ke bentuk lebih besar tidak semudah membalikkan tangan. Pasalnya, Rofiq membutuhkan waktu selama empat tahun untuk belajar.

Menurut Rofiq, dulunya Wayang Suket hanya digunakan sebagai media sembahyangan. Konon, ada satu ritual yang menggunakan perantara wayang suket. Ketika ada orang meninggal, wayang suket ini sering digunakan untuk memanggil arwah agar tidak tersesat.

“Tapi terus berkembang. Makanya sekarang bentuknya jadi macem-macem,” imbuh Rofiq.

Hebatnya, hingga saat ini, Rofiq telah menyelesaikan berbagai macam pesanan. Lebih jelas Rofiq mengatakan, pertama kali, dirinya menerima pesanan dari seorang dalang untuk membuat 15 karakter untuk cerita Ramayana dan Mahabarata.

“Karena sering membuat, akhirnya berkembang sampai bisa bikin karakter binatang,” tutur Rofiq.

Seiring berjalannya waktu, Rofiq kembali menerima pesanan untuk membuat 36 karakter binatang. Tidak lama setelah itu, dari Museum Gubug Wayang Mojokerto menghubungi Rofiq untuk membuat 100 karakter binatang endemik Indonesia.

“Ini menceritakan tentang kancil. Kancil di sini diibaratkan sebagai rakyat kecil. Karena ceritanya nyambung, nanti diruntutkan sampai akhirnya kancil menang. Jika ini selesai, nanti bisa kita wariskan ke anak cucu kita,” jelas Rofiq.

Tidak ingin kalah berkontribusi, Rofiq sudah mempersiapkan hadiah untuk Kota Semarang yaitu sepasang karakter "Denok Kenang".

Bagi masyarakat Semarang, Denok/ Nok/ Sinok merupakan panggilan untuk remaja putri. Sedangkan Kenang/ Nang/ Sinang, panggilan khas untuk remaja putra di daerah Semarangan.

Karakter dan bentuk wayang kulit "Denok Kenang" ini dibuat kecil dan unik. Denok seolah memakai rok dan berambut panjang. Sementara Kenang, memakai celana dan blankon sebagai penutup kepala.

“Kalau tidak, ada namanya itu Eman-Aman. Saya dari Semarang, dan ini karakter putra-putri. Maka saya namai wayang kulit ini Denok Kenang,” terang Rofiq.

Rofiq pun menjual hasil karya wayang suketnya dari harga Rp 25.000 hingga ratusan ribu, sesuai dengan ukuran dan tingkat kesulitan karakter wayang. 

Rofiq mengaku, bertahan hidup dari kesenian dan kebudayaan memang sulit. Terlebih harus bersaing dengan industri besar yang terus berkembang.

“Sebenaranya dunia kebudayaan atau seni tidak bisa diharapkan lebih, karena kita hanya sebagai pelestari. Untuk berkembang di sini tidak mungkin, karena daya tariknya kurang,” pungkas dia.

https://regional.kompas.com/read/2022/05/31/151116578/kisah-rofiq-lestarikan-wayang-suket-meski-tak-bisa-berharap-lebih

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke