BLITAR, KOMPAS.com - Sudah bertahun-tahun Yus Rudianto (38) menggeluti usaha kuliner dengan berjualan nasi pecel setiap sore di Jalan Mastrip, Kota Blitar.
Namun, memasuki pandemi Covid-19 penjualannya terus menurun.
Bahkan, beberapa kali sejak akhir tahun lalu hingga dia tidak bisa membuka warung kaki limanya lantaran adanya pembatasan kegiatan masyarakat.
Ketika Kota Blitar masih menjalankan PPKM Level 4, Yus bahkan sering memilih untuk tidak berjualan lantaran durasi operasional warung makan miliknya menjadi terlalu pendek.
Paling cepat dia bisa membuka warungnya pukul 17.00 WIB setiap harinya, menunggu toko yang empernya dia pakai untuk berjualan tutup.
Padahal, ketika Kota Blitar menjalankan PPKM Level 4, usaha warung kaki lima seperti miliknya dibatasi jam operasional maksimal pukul 20.00 WIB.
"Baru beres menyiapkan warung setelah itu kami langsung bersiap tutup," ujar Yus, mengenang masa pemberlakuan PPKM Level 4 yang dia rasakan sebagai pengusaha warung kaki lima, Kamis (21/9/2021).
Namu, bukan hanya pembatasan kegiatan masyarakat oleh pemerintah yang membuat warung nasi pecelnya turun omzet.
Ketika perkembangan kasus Covid-19 mulai melandai dan pelonggaran aktivitas masyarakat mulai dibuka, omzet warung nasi pecelnya tidak beranjak naik.
"Ketika sudah mulai bisa buka mendekati normal, ternyata penjualan ya tetap rendah. Dari situasi normal setiap hari habis 5-6 kilogram beras menjadi 2,5 kilogram beras," kata warga Kelurahan Sukorejo, Kecamatan Sukorejo itu.
Pada saat yang sama, persisnya sejak akhir tahun lalu, Yus merasa setiap hari ada saja orang mengeluh tentang semakin sulitnya mencari nafkah.
Keluhan itu dia dengarkan di hampir semua tempat, di lingkungan tempat tinggalnya, di pasar saat berbelanja bahan makanan, dan juga di warung nasi pecelnya.
"Di warung, lama-lama ada saja pelanggan yang mulai mengeluhkan harga nasi pecel yang saya jual," ujarnya.
Padahal, kata Yus, ada banyak orang yang karena pekerjaan atau aktivitasnya tidak dapat menghindari untuk makan di luar rumah.