Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketika Petani Samosir Kesulitan Bertani

Kompas.com - 13/11/2013, 07:47 WIB

KOMPAS.com - Matahari sembunyi di perbukitan dan menyisakan jingga saat Darlin Sagala (41) meninggalkan sawah menuju rumahnya yang berjarak 20 meter, Jumat (8/11/2013). Dia baru saja mengakhiri sesi jaga. Saat padi mulai membunting, para petani di Desa Sikkam Pandan, Kecamatan Sianjur Mula Mula, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara, seperti Darlin, harus siaga berjaga dari serangan hama burung dan banjir yang datang mendadak.

Banjir menjadi pengalaman traumatis bagi petani di Kecamatan Sianjur Mula Mula. Tahun 2011, puluhan hektar padi yang sudah menguning di Desa Sikkam Pandan, Aek Sipitu Dai, Habeahan Naburahan, dan Sari Marihit musnah diterjang banjir. Bahkan, petani di Desa Sari Marihit tak bisa lagi bertani hingga sekarang karena lahan mereka tertutup bebatuan yang dibawa banjir.

Persawahan warga ini terletak di lembah yang dikelilingi perbukitan. Sungai Binanga Bolon dan belasan anak sungai selalu mengalir ke persawahan ini sebelum bermuara ke Danau Toba yang berjarak sekitar 5 kilometer dari areal persawahan. Ketika banjir datang, areal persawahan ini seperti mangkok yang diguyur air dari ceret.

Para petani, seperti Darlin, tidak pernah bisa beristirahat tenang saat musim hujan datang seperti sekarang. Ketika mendengar gemuruh, mereka buru-buru ke sawah memanen paksa padi agar tidak musnah diterjang banjir. Meski sering kali upaya itu sia-sia lantaran belum waktunya dipanen, kadang banjir juga lebih cepat merendam padi-padi itu daripada tangan para petani yang tak cukup cekatan menyelamatkannya.

”Kadang dalam satu rantai sawah, kami hanya bisa menyelamatkan dua kaleng gabah dari yang semestinya 20 kaleng,” kata Ngotma Limbong (32), petani di Desa Aek Sipitu Dai.

Petani di Sianjur Mula Mula membagi petak sawah dalam bilangan rantai. Satu rantai setara dengan 400 meter persegi yang dapat menghasilkan 20-22 kaleng gabah. Satu kaleng sama dengan 16 kilogram.

Serba salah

Sianjur Mula Mula merupakan lumbung padi bagi Kabupaten Samosir. Sejak ratusan tahun lalu, mereka menanam padi dua kali setahun yang dimulai pada Januari dan Agustus dengan mengandalkan tadah hujan dan irigasi yang bersumber dari Sungai Binanga Bolon.

Mereka sudah dapat memanen padi pada Maret atau April saat padi ditanam pada Januari dan terhindar dari angin kencang yang selalu datang bulan Juni. Jika telat menanam, petani kerap gigit jari karena bulir-bulir padi rontok disapu angin kencang pada Juni.

Pada Agustus, mereka kembali menyemai bibit padi dan memanennya pada November. Meskipun Agustus jarang turun hujan, mereka masih dapat mengandalkan aliran Sungai Binanga Bolon yang selalu memasok air sepanjang tahun.

Namun, itu dulu. Dalam 15 tahun terakhir, pola tanam petani berubah karena alam berubah. Petani mencoba menyiasati perubahan alam, tetapi sering kalah. Sawah selalu direndam banjir pada Januari hingga Februari. Hal itu memaksa petani menunda tanam padi hingga Maret. Menjelang panen, petani harus adu cepat dengan angin kencang yang selalu datang pada Juni.

Tahun lalu, Leni Silitonga (34), petani di Sikkam Pandan, hanya menatap nanar batang padi yang ditinggalkan bulir-bulir gabah setelah angin kencang melanda. ”Rasanya sia-sia kerja empat bulan,” ujarnya.

Sungai Binanga Bolon pun tidak lagi setia. Pada musim kemarau, sungai tak lagi memasok air. Padi yang ditanam pada Agustus seharusnya sudah dapat dipanen pada November. Namun, karena kurang air, panen harus menunggu hujan datang. Akibat kekurangan air itu, produktivitas padi menurun. Dari biasanya menghasilkan 20 kaleng sampai 22 kaleng, kini tinggal 16 kaleng per rantai.

”Sekarang, batang padi kecil dan bulirnya belum gemuk. Padi hanya bertahan hidup, tetapi tidak bisa kembang,” ujar Darlin.

Hutan rusak

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com