Anka tersebut dinilai tak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, apalagi dengan risiko tinggi yang dihadapi saat bertugas di lokasi bencana.
Namun Erik tetap bertahan dengan alasan kemanusiaan.
"Dibilang cukup ya dicukupi saja. rejeki ada-ada saja, kalau patokan kita angka insentifnya tidak mungkin kita bertahan, pekerjaan juga pasti tidak akan maksimal, jadi saya sudah anggap pekerjaan ini sebagai hobi dan organisasi ini sudah menjadi milik sendiri," ungkapnya.
Baca juga: Tagana Tasikmalaya Siagakan Tenda di Daerah Terdampak Gempa Garut
Erik Irawadin memiliki seorang istri dan dua orang anak perempuan. Anak pertamanya berusia 20 tahun kini mengeyam pendidikan tinggi di kampus STKIP Bima.
Anak keduanya baru duduk di bangku kelas 1 di SMA Negeri 2 Kota Bima. Sang istri merupakan pegawai honorer di Disperindag Kota Bima.
Sebagai tulang punggung keluarga, Erik Irawadin harus berjuang mencari nafkah untuk menopang biaya hidup keluarganya.
Baca juga: Evakuasi Titi Wati Penderita Obesitas, Tagana Harus Potong Kasur dan Gunakan Pikap untuk Bawa ke RS
Di sela kesibukan menjadi relawan Tagana, Erik menyisihkan waktu luangnya untuk mencari penghasilan tambahan dengan menjadi pengawas proyek atau bahkan buruh bangunan.
"Alhamdulillah penghasilannya cukup untuk biaya hidup, karena istri juga kan ada gajinya sebagai pegawai honor di Disperindag," terangnya.
Erik Irawadin mengatakan, saat ini ia mengoordinasikan 40 orang anggota relawan Tagana yang tersebar di lima kecamatan di Kota Bima.
Setiap hari secara bergantian tujuh orang anggotanya tetap siaga 24 jam di Kantor Dinsos Kota Bima.
Sementara yang lain bertugas memantau dan melaporkan perkembangan situasi dan kondisi di lapangan.
Selain bertugas saat ada kejadian bencana, anggotanya juga memiliki tugas yang hampir setiap hari dilakukan, yakni mendistribusikan air bersih untuk warga di Kecamatan Rasanae Barat.
Baca juga: Antisipasi Dampak Cuaca Ekstrem, Dinsos Kota Tangerang Siapkan Tagana dan Logistik
Warga di sana harus menerima air bersih baik saat musim hujan atau kemarau. Hal itu dilakukan karena air bawah tanah asin akibat berdekatan dengan pesisir pantai.
"Itu hampir setiap hari kita salurkan, seperti di Kelurahan Tanjung dan Melayu. Itu bukan karena musim kemarau, tapi airnya asin dan jaringan air bersih belum ada yang sampai ke sana," bebernya.
Sebagai relawan Tagana, Erik tidak hanya bertugas saat ada kejadian bencana di Kota Bima. Dia kerap kali dikirim keluar daerah untuk membantu para korban terdampak bencana alam.
Seperti halnya saat gempa bumi mengguncang Pulau Lombok tahun 2018, ia bersama anggota harus menetap selama beberapa bulan untuk membantu para korban.
Demikian pula saat bencana alam banjir bandang di Sumbawa, Kabupaten Bima dan Kabupaten Dompu.
"Kalau sudah bergabung Tagana, di mana pun ada bencana kami harus siap, tergantung perintah dari Kemensos melalui Dinsos NTB," jelasnya.
Baca juga: Bantu Korban Gempa Bumi di Cianjur, Pemkot Bekasi Terjunkan Petugas Kesehatan dan Tagana
Selama 20 tahun mengabdi sebagai anggota relawan kemanusiaan di Tagana Kota Bima, Erik Irawadin menceritakan tugas paling berisiko yang pernah ia lakukan.