Salin Artikel

Cerita Erik 20 Tahun Jadi Relawan Tagana demi Kemanusiaan

Pria berusia 40 tahun tersebut mulai bergabung sebagai garda depan dalam penanggulangan bencana sejak 2004.

Dia merupakan angkatan pertama. Erik saat itu diutus oleh Karang Taruna Kelurahan Sadia yang saat ini telah mekar menjadi Kelurahan Mande, Kecamatan Mpunda, Kota Bima.

Saat ini dia dipercaya sebagai Koordinator Tagana Kota Bima dengan tali asih Rp 250.000 per bulan dari Kementerian Sosial (Kemensos) RI.

Selama 20 tahun mengabdi, Erik Irawadin rupanya pernah tidak menerima apa pun bertahun-tahun. Namun, karena panggilan jiwa demi kemanusiaan, tugas berat itu tetap dijalaninya.

Besaran tali asih yang diterima disebut jauh dari kata cukup. Namun Erik kembali menegaskan, niat utamanya menjadi relawan adalah demi kemanusiaan.

Bagi Erik yang pernah menjadi mahasiswa pecinta alam di STKIP Bima, membantu para korban bencana, menghadapi risiko besar demi menyelamatkan nyawa seperti sebuah petualangan.

"Motivasi awalnya karena ini bergerak di bidang kemanusiaan. Kedua, saya latar belakangnya adalah mahasiswa pencinta alam, jadi hobi berpetualangan. Membantu orang rasanya sama seperti berpetualangan, kalau bicara berapa gaji yang kita dapat jika dihitung-hitung masih jauh," kata Erik Irawadin saat ditemui Kompas.com, Jumat (3/5/2024).

Erik Irawadin menceritakan, ia termasuk salah satu dari delapan orang anggota Karang Taruna yang diutus Kota Bima untuk mengikuti pelatihan sebagai relawan Tagana di Dinas Sosial (Dinsos) Provinsi NTB.

Setelah mengikuti pelatihan penanganan prabencana, saat bencana, sampai pascabencana, dia akhirnya resmi bergabung sebagai anggota tim relawan Tagana bersama tujuh orang rekannya.

Sejak bergabung tahun 2004 sampai 2008, Erik tak pernah mendapat apa pun dari Kemensos RI. Dia bersama tujuh orang rekannya murni bergabung tanpa menghadap imbalan.

Jerih payahnya membantu korban saat bencana terjadi baru mendapat perhatian dari Kemensos di tahun 2009. Saat itu, ia menerima tali asih sebesar Rp 100.000 per bulan.

Tali asih tersebut diterimanya satu kali dalam enam bulan dan harus menyertakan piagam atau sertifikat pelatihan di Kantor Pos.

Setelah delapan tahun betugas tepatnya saat banjir besar melanda Kota Bima di tahun 2016, Kemensos menambahkan tali asih menjadi Rp 250.000 per bulan sampai saat ini.

"Itu (banjir bandang) bencana paling parah di Kota Bima. Sejak saat itu baru insentif kami ditambah Rp 250.000 sampai sekarang, waktu itu Menteri Sosial ibu Khofifah," ungkapnya.

Selain mendapat tali asih bulanan Rp 250.000, setiap kali ada kejadian bencana dia bersama anggotanya juga mendapat uang pengerahan yang nilainya tidak menentu.

Besarannya tergantung berapa hari relawan berada di lapangan untuk membantu para korban terdampak bencana.

"Ada istilahnya uang lelah dari kementerian, tapi tidak dipatok besarannya, kadang dikasih Rp 300.000 sampai Rp 400.000, itu untuk beberapa bertugas di lokasi bencana," jelasnya.

Relawan Tagana Kota Bima juga menerima dana insentif dari Pemerintah Kota (Pemkot) Bima mulai tahun 2022. Nilainya sebesar Rp 300.000 per bulan dan diterima tiga bulan sekali.

Jika diakumulasi, Erik rata-rata menerima Rp 600.000 per bulan.

Anka tersebut dinilai tak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, apalagi dengan risiko tinggi yang dihadapi saat bertugas di lokasi bencana.

Namun Erik tetap bertahan dengan alasan kemanusiaan.

"Dibilang cukup ya dicukupi saja. rejeki ada-ada saja, kalau patokan kita angka insentifnya tidak mungkin kita bertahan, pekerjaan juga pasti tidak akan maksimal, jadi saya sudah anggap pekerjaan ini sebagai hobi dan organisasi ini sudah menjadi milik sendiri," ungkapnya.

Erik Irawadin memiliki seorang istri dan dua orang anak perempuan. Anak pertamanya berusia 20 tahun kini mengeyam pendidikan tinggi di kampus STKIP Bima.

Anak keduanya baru duduk di bangku kelas 1 di SMA Negeri 2 Kota Bima. Sang istri merupakan pegawai honorer di Disperindag Kota Bima.

Sebagai tulang punggung keluarga, Erik Irawadin harus berjuang mencari nafkah untuk menopang biaya hidup keluarganya.

Di sela kesibukan menjadi relawan Tagana, Erik menyisihkan waktu luangnya untuk mencari penghasilan tambahan dengan menjadi pengawas proyek atau bahkan buruh bangunan.

"Alhamdulillah penghasilannya cukup untuk biaya hidup, karena istri juga kan ada gajinya sebagai pegawai honor di Disperindag," terangnya.

Koordinator

Erik Irawadin mengatakan, saat ini ia mengoordinasikan 40 orang anggota relawan Tagana yang tersebar di lima kecamatan di Kota Bima.

Setiap hari secara bergantian tujuh orang anggotanya tetap siaga 24 jam di Kantor Dinsos Kota Bima.

Sementara yang lain bertugas memantau dan melaporkan perkembangan situasi dan kondisi di lapangan.

Selain bertugas saat ada kejadian bencana, anggotanya juga memiliki tugas yang hampir setiap hari dilakukan, yakni mendistribusikan air bersih untuk warga di Kecamatan Rasanae Barat.

Warga di sana harus menerima air bersih baik saat musim hujan atau kemarau. Hal itu dilakukan karena air bawah tanah asin akibat berdekatan dengan pesisir pantai.

"Itu hampir setiap hari kita salurkan, seperti di Kelurahan Tanjung dan Melayu. Itu bukan karena musim kemarau, tapi airnya asin dan jaringan air bersih belum ada yang sampai ke sana," bebernya.

Sebagai relawan Tagana, Erik tidak hanya bertugas saat ada kejadian bencana di Kota Bima. Dia kerap kali dikirim keluar daerah untuk membantu para korban terdampak bencana alam.

Seperti halnya saat gempa bumi mengguncang Pulau Lombok tahun 2018, ia bersama anggota harus menetap selama beberapa bulan untuk membantu para korban.

Demikian pula saat bencana alam banjir bandang di Sumbawa, Kabupaten Bima dan Kabupaten Dompu.

"Kalau sudah bergabung Tagana, di mana pun ada bencana kami harus siap, tergantung perintah dari Kemensos melalui Dinsos NTB," jelasnya.

Selama 20 tahun mengabdi sebagai anggota relawan kemanusiaan di Tagana Kota Bima, Erik Irawadin menceritakan tugas paling berisiko yang pernah ia lakukan.

Pertama, saat letusan Gunung Sangiang Api di Kecamatan Wera, Kabupaten Bima tahun 2014.

Relawan Tagana saat itu menjadi yang terdepan menuju ke lokasi untuk membantu proses evakuasi warga.

Erik masih ingat, saat itu dia harus berjibaku dengan abu vulkanik saat mengevakuasi warga terdampak.

Setelah proses evakuasi, ia kemudian sibuk melayani warga di tenda pengungsian untuk menyiapkan kebutuhan makan dan minum.

"Itu salah satu pengalaman yang cukup berisiko bagi saya, karena saya harus berjibaku dengan abu vulkanik saat proses evakuasi korban," ujarnya.

Pengalaman lain yakni ketika awal munculnya kasus Covid-19 di Kota Bima. Saat itu ia tak pulang ke rumah selama hampir enam bulan karena harus berjaga di posko perbatasan antara Kota Bima dan Kabupaten Bima.

Relawan Tagana ikut membantu satgas penanganan Covid-19 untuk melakukan penyekatan masuknya warga dari luar daerah, sebab dikhawatirkan mereka menjadi sumber penularan Covid-19 di Kota Bima.

Selama enam bulan bertugas, lanjut Erik, keperluan pakaian diantar langsung oleh istrinya ke posko penyekatan.

"Itu enam bulan tidak pulang-pulang kita. Kalau mau ganti baju anak istri yang datang mengantar ke posko. Di sana tiga kita membatasi ruang gerak masyarakat dari luar yang mau masuk," kata Erik.

Menurutnya, keluarga sangat mendukung dan memahami tugas dan tanggung jawabnya sebagai relawan Tagana.

Karenanya, meski beberapa bulan tidak pulang untuk menjalankan tugas kemanusiaan di lokasi bencana, keluarga tak pernah mempersoalkan, termasuk soal kecilnya tali asih yang diperoleh.

Erik Irawadin berharap ada perhatian lebih dari pemerintah daerah maupun Kemensos, terutama soal peningkatan kesejahteraan bagi relawan Tagana yang bekerja dengan resiko tinggi.

"Harapan kita ya ada penambahan insentif. Kemudian ada dukungan sarana prasarana penunjang di lapangan, seperti mobil tangki dan pengakutan logistik. Untuk BPJS sudah ada dari daerah," kata Erik.

Jumlah belum ideal

Sementara itu, Kepala Dinas Sosial (Dinsos) Kota Bima, Yuliana menyampaikan, ada 40 orang anggota relawan Tagana yang ada di Bima. Jumlah itu belum cukup ideal jika melihat risiko kejadian bencana di Kota Bima.

Sebanyak 40 relawan itu pun belum tersebar di semua kelurahan karena keterbatasan alokasi anggaran insentif bulanan.

"Tidak mungkin kita rekrut orang tampa ada biaya kesejahteraan untuk mereka," kata Yuliana.

Ke depan rencananyasetiap kelurahan diupayakan memiliki keterwakilan satu anggota relawan Tagana. Dengan begitu, diharapkan bisa meminimalkan jatuhnya korban jiwa saat bencana serta memaksimalkan upaya penanggulangan di lapangan.

"Maunya kami ada keterwakilan tiap kelurahan. Nanti juga kami akan menyampaikan pertimbangan-pertimbangan untuk perekrutan baru tagana di Kota Bima," ungkapnya.

https://regional.kompas.com/read/2024/05/04/050000078/cerita-erik-20-tahun-jadi-relawan-tagana-demi-kemanusiaan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke