Menurut Dipo, tumpeng seribu ini didoakan di Taman Sriwedari kemudian dibagikan kepada masyarakat.
"Tumpeng sewu memaknai turunnya lailatul qadar, malam seribu bulan. Nanti dibawa ke Taman Sriwedari untuk didoakan bersama kemudian dibagikan kepada masyarakat," kata Dipo.
Dijelaskan, lampu ting atau lampion yang dibawa abdi dalam selama kirab memiliki makna bahwa kampung di sekitar keraton belum ada listrik. Sehingg penduduknya diminta membuat lampion atau lampu ting.
"Ting dan lampion itu karena waktu dulu di sekitar keraton itu di kampung-kampung sebagian belum ada listrik. Penduduk-penduduk waktu itu supaya membuat lampion," jelas dia.
Sehingga, lanjut dia, lampion tersebut disertakan dalam kirab malam selikuran. Selain itu ada lampion berbentuk bintang yang mengandung makna malam penuh berkah.
Baca juga: Ada Kirab Dugderan, Jalan Pemuda Ditutup Sabtu Ini
Dipo mengungkapkan, tradisi kirab malam selikuran sudah ada sejak zaman pemerintahan Raja Keraton Solo Pakubuwana X. Saat itu, kirab malam selikuran berlangsung dari keraton sampai Masjid Agung.
Seiring perkembangan, kirab malam selikuran rutenya diperpanjang dari Keraton Solo hingga Taman Sriwedari. Tradisi ini berlangsung hingga sekarang.
"(Kirab malam selikuran) dimulai sejak Pakubuwana ke X. Waktu itu acara malam lailatul qadar hanya diselenggarakan di keraton sampai ke masjid. Muncul pasar malem Sekaten setelah ada Taman Sriwedari maka kegiatan ini dilanjutkan dari keraton menuju ke Taman Sriwedari," jelas dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.