Salin Artikel

Melihat Kirab Malam Selikuran, Tradisi Keraton Solo Sambut Lailatul Qadar

Peserta kirab diberangkatkan sekitar pukul 20.00 WIB dari Siti Hinggil Keraton Solo menuju Taman Sriwedari.

Raja Keraton Solo, Pakubuwana (PB) XIII beserta permaisuri GKR Pakubuwana dan putra mahkota KGPH Purbaya memimpin jalannya kirab malam selikuran.

Peserta kirab berjalanan menyusuri sepanjang Jalan Slamet Riyadi. Selama diperjalanan peserta membawa lampion, lampu ting dan jodang berisi makanan.

Tepat pukul 21.30 WIB peserta kirab tiba di Taman Sriwedari. Kemudian dilanjutkan dengan prosesi serah terima oleh Pangageng Parentah Keraton Solo, KGPH Adipati Dipokusumo kepada Ketua PCNU Solo Mashuri.

Setelah itu, jodang berisi makanan diletakkan di depan panggung untuk kemudian didoakan. Setelah didoakan, jodang berisi makanan tersebut oleh abdi dalem dibagikan kepada warga.

Seorang warga, Astrid Rohmana mengaku, senang bisa mendapatkan makanan yang dibagikan para abdi dalem keraton.

Warga asal Mojokerto, Jawa Timur ini mengaku, baru pertama kali hadir dalam tradisi malam silikuran di Solo.

"Baru pertama (hadir malam selikuran). Kebetulan saya di sini jadi saya sempatkan ikut. Belum tahu juga kan (ada malam selikuran). Ternyata ada pengajian juga terus ada bagi-bagi ini (makanan)," katanya.

"Untuk warga Solo tetap ikut andil dalam memeriahkan acara ini," ungkap dia.

Astrid mengatakan, nasi dan ketan yang dia dapatkan dalam tradisi malam selikuran untuk dimakan.

"Senang banget (dapat nasi). Tadi agak rebutan sama warga-warga lainnya. Terus dapat nasi sama ketan. (Nanti) buat makan," katanya.

Pangageng Parentah Keraton Solo, KGPH Adipati Dipokusumo mengatakan, hajad dalem malam selikuran merupakan tradisi menyambut lailatul qadar.

Keraton Solo melestarikan tradisi ini dengan cara kirab membawa lampu ting, lampion dan tumpeng sewu (seribu). Malam lailatul qadar dipercaya sebagai malam yang lebih baik dari seribu bulan.

Menurut Dipo, tumpeng seribu ini didoakan di Taman Sriwedari kemudian dibagikan kepada masyarakat.

"Tumpeng sewu memaknai turunnya lailatul qadar, malam seribu bulan. Nanti dibawa ke Taman Sriwedari untuk didoakan bersama kemudian dibagikan kepada masyarakat," kata Dipo.

Dijelaskan, lampu ting atau lampion yang dibawa abdi dalam selama kirab memiliki makna bahwa kampung di sekitar keraton belum ada listrik. Sehingg penduduknya diminta membuat lampion atau lampu ting.

"Ting dan lampion itu karena waktu dulu di sekitar keraton itu di kampung-kampung sebagian belum ada listrik. Penduduk-penduduk waktu itu supaya membuat lampion," jelas dia.

Sehingga, lanjut dia, lampion tersebut disertakan dalam kirab malam selikuran. Selain itu ada lampion berbentuk bintang yang mengandung makna malam penuh berkah.

Dipo mengungkapkan, tradisi kirab malam selikuran sudah ada sejak zaman pemerintahan Raja Keraton Solo Pakubuwana X. Saat itu, kirab malam selikuran berlangsung dari keraton sampai Masjid Agung.

Seiring perkembangan, kirab malam selikuran rutenya diperpanjang dari Keraton Solo hingga Taman Sriwedari. Tradisi ini berlangsung hingga sekarang.

"(Kirab malam selikuran) dimulai sejak Pakubuwana ke X. Waktu itu acara malam lailatul qadar hanya diselenggarakan di keraton sampai ke masjid. Muncul pasar malem Sekaten setelah ada Taman Sriwedari maka kegiatan ini dilanjutkan dari keraton menuju ke Taman Sriwedari," jelas dia.

https://regional.kompas.com/read/2024/04/01/060546078/melihat-kirab-malam-selikuran-tradisi-keraton-solo-sambut-lailatul-qadar

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke