Ia mengatakan, berdasarkan data, peningkatan kerusakan hutan sejalan dengan peningkatan produktivitas jagung. Ekspansi tanaman monokultur tersebut juga seiring dengan pembukaan lahan untuk pembangunan pabrik pengering jagung (corn dryer) di Sumbawa, Dompu, dan Bima.
Yang menjadi masalah, menurut Julmansyah, tidak ada peraturan yang mewajibkan pabrik untuk memiliki lahan inti, sehingga mereka bisa menerima jagung dari mana saja, tanpa batasan.
“Dampaknya petani kita merambah kawasan hutan untuk menanam jagung dengan harapan memperoleh keuntungan ekonomi sebesar-besarnya,” kata Julmansyah saat ditemui Jumat (17/2/2024).
Perambahan tersebut memperluas area hutan gundul. Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan mencatat kawasan hutan gundul seluas 96.238,24 hektare tersebar di sembilan kabupaten, antara lain Lombok Barat 12.330 hektare, Lombok Tengah 6.686 hektare, Lombok Utara 4.299 hektare, Lombok Timur 9.002 hektare, Sumbawa Barat 53 hektare, Sumbawa 30.291 hektare, Dompu 16.690 hektare, Bima 15.790 hektare, dan Kota Bima 1.093 hektare.
Julmansyah memberi contoh, dari 202.000 hektare total luas hutan di Kabupaten Bima, Dompu dan Kota Bima, sebanyak 58.000 hektare sudah menjadi lahan jagung.
"Secara keseluruhan dari 400.000 hektare lebih kawasan hutan di wilayah NTB, 190.000 hektare sudah ditanami jagung di NTB," katanya.
“Kita tidak membenci penanaman jagung namun jangan jadikan monokultur atau satu-satunya. Kalau hanya sebagai tanaman tumpang sari yang dipadukan dengan tanaman buah dan pepohonan itu bisa,” lanjutnya.
Selain itu, kata Julmansyah, perlu dilihat dulu lokasinya. Jangan sampai merusak hutan atau hulu daripada kawasan bendungan Daerah Aliran Sungai (DAS).
"Sebenarnya tidak ada masalah dengan jagung. Yang menjadi masalah ketika jagung masuk ke kawasan hutan,” tegas Julmansyah.
"Semua sudah menyentuh hutan lindung dan sampai ke kawasan konservasi."
Perambahan hutan akan mengancam hulu DAS yang akhirnya berpengaruh kepada bendungan-bendungan sebagai sumber mata air. Debit air di bendungan bakal berkurang.
Hal tersebut akan mengubah pola tanam sehingga akhirnya mempengaruhi dan merugikan kehidupan masyarakat itu sendiri.
Reboisasi daerah hulu, menurut Julmansyah, adalah solusi terbaik untuk memitigasi ancaman banjir di masa depan.
Ia mendorong bupati atau wali kota mengeluarkan surat edaran pada wilayah desa yang berada di DAS untuk mengalokasikan anggaran pengadaan bibit tanaman buah atau pohon untuk reboisasi. Pun memerintahkan agar pabrik pengering jagung tak lagi menerima jagung yang ditanam di kawasan hutan.
Julmansyah berpendapat bahwa itu adalah cara yang paling mudah dan murah karena tidak mungkin untuk menindak pidana, atau memenjarakan warga yang merambah hutan.
"Itu tidak mungkin," tegasnya.
Selain itu, Julmansyah mendorong agar pemerintah, melalui Dinas Pertanian, mengedukasi masyarakat untuk tidak menanam jagung di dataran tinggi atau kawasan penyangga air, seperti DAS Batulanteh.
"Wilayah itu penyangga air dan berada di ketinggian 1.000 Mdpl sehingga tidak cocok untuk ditanami tanaman monokultur tetapi mesti gunakan sistem tumpang sari," kata dia.
Direktur Lembaga Olah Hidup (LOH), Yani Sagarwa mengatakan, laju deforestasi di Pulau Sumbawa semakin mempengaruhi iklim mikro, bahkan cuaca menjadi semakin panas.
“Semestinya pemerintah lakukan moratorium penanaman jagung. Tidak perlu ditambah perluasan. Diversifikasi pertanian dan tanaman pangan seharusnya dilakukan,” kata Yani saat ditemui, Senin (12/2/2024).
Ia mendorong pemerintah daerah lebih serius melakukan mitigasi dampak anomali iklim El Nino bagi petani. Menurutnya, tidak ada kebijakan mitigasi maupun adaptasi yang sistematis dilakukan pemda, apalagi di sektor pertanian.
Sementara, Ketua Forum Daerah Aliran Sungai dan Lingkungan Hidup (FORDAS-LH) NTB, Markum mengatakan jagung menjadi produk politik karena sejalan dengan kebijakan nasional food estate. Implikasinya, setiap daerah diberikan target produksi yang kadang melampaui kapasitas lahan.
Lebih jauh, kebijakan yang tumpang tindih semakin memperparah kondisi hutan. Hadirnya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 menjadikan pengelolaan kehutanan kewenangan pusat dan sebagian diberikan kepada provinsi, sedangkan kabupaten memiliki kewenangan pertanian.
“Saya lihat provinsi tidak berikan bantuan benih jagung, ada moratorium. Sementara kabupaten terus genjot produksi jagung karena ditekan oleh pemerintah pusat. Tidak akan efektif proses rehabilitasi kawasan, pantas saja jika hutan semakin rusak,” kata Markum Senin (5/2/2024).