Emanuel Isak, 49 tahun, warga Desa Watuliwung, justru menyambut baik pencalonan Mami Vera dan menyebutnya “unik”.
“Yang kami kenal waria sekarang itu hanya buka salon, tapi untuk yang sampai yang mau duduk di legislatif, baru pertama kali ini,” ujarnya.
Menurut Emanuel, pencalonan Mami Vera bisa mengangkat citra komunitas transpuan menjadi lebih bagus, “Jadi orang tidak beranggapan kalau waria ini seperti yang mereka nilai.”
Andry, 30 tahun, warga Desa Watuliwung lainnya mengatakan komunitas transpuan yang hidup berdampingan dengan mereka memiliki “tata krama” dan selalu “bertegur sapa” dengan masyarakat sehingga pencalonan Mami Vera bisa diterima dengan mudah.
Senada, Umiyanti, warga Desa Watumilok yang baru lulus dari bangku kuliah, juga tidak menolak pencalonan transpuan sebagai wakil rakyat.
Perempuan berusia 23 tahun itu bilang, “semua orang berhak menentukan jalan hidupnya”.
Bagi Mama Ros, 58 tahun, identitas sebagai transpuan juga bukan masalah. Yang terpenting baginya, calon wakil rakyat harus bisa mewakili dan membantu rakyatnya.
Baca juga: Demi Hilangkan Jejak, Pria di Tangerang Bakar Jasad Transpuan lalu Buang ke Pinggir Empang
“Tidak masalah karena kami butuh orang Kecamatan Kangae supaya ketika kami butuh apa-apa ada orang yang mewakilkan, duduk di DPRD. Supaya kami masyarakat, mengeluh apa-apa, mereka dengar kami,” kata pemilik nama asli Berta Rosina.
Untungnya, Mami Vera, yang sejak lahir sudah hidup di Kabupaten Sikka, tahu betul apa yang harus diperjuangkan untuk warga.
Katanya, dia akan membantu warga mendapatkan akses air bersih karena selama ini warga mengalami krisis air bersih.
Dia bilang, warga yang punya uang biasanya membeli air tangki, sementara warga yang hidupnya pas-pasan hanya mengandalkan air tadah hujan atau bahkan air dari dari pohon pisang untuk minum.
“Saat ini bagaimana caranya Mami hadir bukan menjanjikan mereka, tidak. Semoga krisis air ini bisa Mami aspirasikan, bisa membangun jejaring,” kata Vera.
Baca juga: Motif Pembunuhan Transpuan di Tangerang: Pelaku Dendam karena Tak Dipinjami Uang
Di Kabupaten Sikka, keberadaan komunitas transpuan mulai terlihat pada tahun 80-an dan baru mulai diterima di masyarakat setelah reformasi, kata dosen Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif (IFTK) Ledalero, Khanis Suvianita, yang meneliti komunitas transpuan di Kabupaten Sikka.
“Setelah reformasi, suasana kota berubah. Penerimaan masyarakat, juga kelompok dari tokoh-tokoh agama menjadi terbuka. Lalu gerakan hak asasi manusia di sana juga terlihat, gerakan yang didukung juga oleh para tokoh agama,” kata Khanis.
Pada tahun 1980-an komunitas transpuan di Maumere sampai “takut keluar rumah”.
Baca juga: Caleg di Makassar Bagi-bagi Uang, Bawaslu Sulsel: Ada Dugaan Tindak Pidana Pemilu
Dalam wawancara bersama komunitas transpuan, Khanis mendapatkan pengakuan bahwa ada masanya para transpuan diteriaki, dihina, bahkan disiram air, dilempar pasir, hingga dilempar batu.
“Tidak mudah pada waktu itu,” tegas Khanis.
Para transpuan menjadi sangat berhati-hati dalam bertindak karena mereka tidak mau penghinaan terhadap mereka juga memberikan dampak bagi keluarga.
Mami Vera menceritakan bagaimana dia menghadapi warga yang “mendiskriminasi” mereka.
Dulu, komunitas transpuan kerap pendapat “hinaan” dan "ejekan". Namun, Mami Vera menghadapinya dengan memberikan pengertian, alih-alih memancing keributan.
Baca juga: Deklarasikan Dukungan untuk Caleg, Bawaslu Laporkan 2 Kades ke Polisi
“Saya menjelaskan ke dia bahwa saya juga bagian dari kehidupanmu, bagian dari keluargamu, kita juga sama-sama orang Maumere, kita mau ke mana-mana, masih keluarga semua. Jadi, terimalah saya,” ujarnya menegaskan.
Ketika tsunami menghantam Pulau Flores pada 1992 dan Kabupaten Sikka menjadi salah satu daerah yang paling terdampak, kata Khanis, banyak transpuan yang kemudian “mencari pekerjaan” ke Pulau Jawa, akibat kondisi ekonomi yang “sangat buruk”.
Dalam perantauannya, mereka menguasai keterampilan-keterampilan baru, seperti memotong rambut, merias wajah, menyanyi, hingga memasak.
Sekitar sepuluh tahun kemudian, kata Khanis, ketika kondisi kota pascatsunami juga mulai membaik dan komunitas transpuan juga mulai diterima, para transpuan yang tetap berada di Sikka memberikan kabar baik itu kepada mereka yang sedang merantau.
Baca juga: Kronologi Caleg PAN Lakukan Politik Uang hingga Divonis 8 Bulan Penjara
Para transpuan yang merantau pun “berangsur-angsur” kembali.
“Ketika kembali, mereka membangun salon-salon dan kemudian ada juga yang membantu pengantin untuk make-up dan lain-lain. Itu kan juga membawa perubahan. Orang melihat sesuatu yang baik dari teman-teman itu,” kata Khanis.
Ternyata keterampilan yang telah dikuasai para transpuan itu bisa memenuhi kebutuhan masyarakat di Sikka, bahkan disebut "tak tergantikan". Akhirnya kehadiran dan peran mereka bisa diterima di tengah kehidupan sosial masyarakat.
Peluang ini dimanfaatkan dengan baik oleh komunitas transpuan. Menurut Khanis, kemauan mereka untuk terlibat aktif dalam lingkungan juga menjadi salah satu pendorong mereka bisa diterima di masyarakat.
Baca juga: Bagi-bagi Uang Saat Kampanye, Caleg PAN Divonis 8 Bulan Penjara
Misalnya, mereka aktif dalam kegiatan-kegiatan di tingkat RT. Saat ada tetangga yang menggelar pesta, mereka hadir membantu. Begitu juga ketika ada kedukaan. Mereka juga aktif dalam kegiatan-kegiatan di gereja.
“Ketika ada persoalan di dalam masyarakat mereka datang. Itu yang membuat masyarakat setempat itu juga melihat kontribusi mereka.”
“Masyarakat di sana [Sikka] itu kan tidak sekadar melihat identitas gender seseorang. Ketika orang memiliki keterampilan, maka keterampilan itu sangat dihargai. Jadi apakah mereka itu perempuan, laki-laki, atau waria, itu mereka pasti punya tempat,” ucap Khanis.
“Mereka [para transpuan] bisa berdiskusi, tampil, dan terlibat dalam banyak acara. Katakanlah acara pesta, nikah dan segala macam, mereka juga hadir. Acara-acara itu kan menghadirkan jumlah orang banyak dan mereka hadir malah diterima dan bisa berbaur,” kata Philip.
Meski komunitas transpuan sudah dua dekade lebih diterima di tengah masyarakat, menurut Philip, ini adalah kali pertama partainya memilih transpuan mewakili partai di tingkat kabupaten.
Bisa dibilang Mami Vera adalah pilihan terakhir mereka di detik-detik terakhir masa pendaftaran. Sebab, sebelumnya ada calon kader yang dalam perjalanannya menyatakan mundur di tengah jalan.
Baca juga: Viral, Video Caleg di Makassar Bagi-bagi Uang, Sadap: Jumlahnya Rp 100 Juta, Itu Sedekah