Salin Artikel

Kisah Mami Vera, Caleg Transpuan Pertama di NTT

Vera Cruz melenggang dengan percaya diri sambil menjinjing tas kecil yang dipenuhi kartu dan stiker bergambar dirinya.

Dari kejauhan, sosok yang memiliki panggilan Mami Vera itu sudah menyapa sejumlah orang yang sedang berada di kebun.

Sambil bercakap-cakap menggunakan bahasa setempat, dia mengeluarkan segepok kartu dari tasnya dan membagikan satu per satu kepada para pekerja yang tengah bersiap membersihkan gulma di kebun jagung.

"Saya nyaleg," kata Mami Vera kepada orang-orang yang ditemuinya.

Mami Vera merupakan satu-satunya calon legislatif (caleg) transpuan di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, dalam Pemilu 2024.

Dia terdaftar atas nama Melkiades Mas Mangdare, seorang laki-laki berusia 47 tahun, yang diusung oleh Partai Amanat Nasional (PAN) dan mendapat nomor urut lima dalam untuk pemilihan DPRD Kabupaten Sikka.

Walaupun begitu, saat berkampanye dia tetap menjadi Vera Cruz, meski tanpa rambut dengan potongan bob yang tak sampai sebahu.

“Tapi biar rambut pendek kan tetap berlipstik, tidak menjadi masalah,” kata dia kepada BBC News Indonesia di ruang tamu rumahnya saat kami temui pertengahan Januari lalu.

Mami Vera seperti menjadikan lipstik merah itu sebagai identitasnya, yang membuatnya berbeda dengan caleg-caleg lainnya.

Foto-fotonya di kartu, stiker, dan baliho, juga menggunakan lipstik merah. Bahkan ketika dia berkampanye, lipstik merah tidak boleh ketinggalan.

Pukul 09.00 pagi, Mami Vera sudah siap dengan kemeja biru dan celana putihnya, setelan pakaian yang dia anggap merepresentasikan partai pengusungnya.

Setelah memakai sandal bermodel selop berwarna cokelat keabu-abuan dan mengunci pintu rumahnya, Mami Vera berangkat kampanye.

“Mami sempat ragu di awal, mempertanyakan mengapa saya? Ketakutan saya bahwa, ih saya diterima tidak? Saya ikuti saja alurnya mau dibawa ke mana,” dia bercerita.

Namun, segala kemudahan yang dia dapatkan ketika proses pendaftaran membuat dia yakin kalau “ini adalah jalan Tuhan”.

Melkiades Mas Mangdare akan bertarung dengan caleg-caleg lainnya di daerah pemilihan (dapil) dua, yang mencakup enam kecamatan, yaitu Kecamatan Lela, Nele, Kewapante, Koting, Hewokloang, dan Kangae.

Mami Vera berjalan menghampiri beberapa pedagang sambil membagikan kartunya. Kartu itu, kata dia, memudahkan orang-orang yang tidak bisa membaca, para lansia, dan difabel untuk memilihnya.

"Tinggal menunjukkan kartu ini saja ke petugas, nanti dia bantu coblos," ujarnya.

Mami Vera bercakap-cakap sedikit dengan para pedagang. Menyampaikan maksudnya yang sedang berkampanye.

“Partai apa? Nomor urut berapa?” kata salah satu pedagang yang berbicara menggunakan bahasa daerah.

“Kok tidak ada baliho?” tanya yang lainnya.

“Baliho ada, sudah dipasang kemarin di depan rumah, di Geliting,” jawab Mami Vera.

Selepas membagikan kartu pamungkasnya ke beberapa pedagang, Mami Vera menuju tepi pantai. Dia bilang hendak mengunjungi saudaranya.

“Nyaleg kamu ya?” ujar saudara Mami Vera.

“Mudah-mudahan jadi [berhasil]. Rumah kami bocor.”

Mami Vera bilang banyak orang belum mengetahui kalau dirinya ikut dalam kontestasi Pemilu 2024 sebagai caleg di DPRD Kabupaten Sikka, termasuk saudara-saudaranya. Tak heran banyak di antara mereka yang masih kaget.

Vera Cruz sengaja memulai kampanye dari lingkungan keluarga dan saudara-saudaranya sendiri. Sebab, menurut dia, mereka bisa membantunya berkampanye.

“Saya kasih kartunya banyak ke mereka karena nanti mereka bilang akan membagikan lagi ke yang lain,” katanya.

Sepulang dari rumah saudaranya, masih di tepi pantai, tiga orang warga menghentikan langkah Mami Vera.

“Ada perlu apa?”

“Mau bagi saya punya kartu,” jawab dia.

“Semoga berhasil, semoga sukses, biar ke depan bisa memperhatikan kami,” ucap warga.

Tidak ada seruan-seruan yang menggoda atau kata-kata merendahkan yang terlontar dari mulut satu orang pun ketika Mami Vera dengan gincu merah menghiasi bibirnya melenggang di bawah terik matahari dengan setelan biru-putih untuk berkampanye.

Emanuel Isak, 49 tahun, warga Desa Watuliwung, justru menyambut baik pencalonan Mami Vera dan menyebutnya “unik”.

“Yang kami kenal waria sekarang itu hanya buka salon, tapi untuk yang sampai yang mau duduk di legislatif, baru pertama kali ini,” ujarnya.

Menurut Emanuel, pencalonan Mami Vera bisa mengangkat citra komunitas transpuan menjadi lebih bagus, “Jadi orang tidak beranggapan kalau waria ini seperti yang mereka nilai.”

Andry, 30 tahun, warga Desa Watuliwung lainnya mengatakan komunitas transpuan yang hidup berdampingan dengan mereka memiliki “tata krama” dan selalu “bertegur sapa” dengan masyarakat sehingga pencalonan Mami Vera bisa diterima dengan mudah.

Senada, Umiyanti, warga Desa Watumilok yang baru lulus dari bangku kuliah, juga tidak menolak pencalonan transpuan sebagai wakil rakyat.

Perempuan berusia 23 tahun itu bilang, “semua orang berhak menentukan jalan hidupnya”.

Bagi Mama Ros, 58 tahun, identitas sebagai transpuan juga bukan masalah. Yang terpenting baginya, calon wakil rakyat harus bisa mewakili dan membantu rakyatnya.

“Tidak masalah karena kami butuh orang Kecamatan Kangae supaya ketika kami butuh apa-apa ada orang yang mewakilkan, duduk di DPRD. Supaya kami masyarakat, mengeluh apa-apa, mereka dengar kami,” kata pemilik nama asli Berta Rosina.

Untungnya, Mami Vera, yang sejak lahir sudah hidup di Kabupaten Sikka, tahu betul apa yang harus diperjuangkan untuk warga.

Katanya, dia akan membantu warga mendapatkan akses air bersih karena selama ini warga mengalami krisis air bersih.

Dia bilang, warga yang punya uang biasanya membeli air tangki, sementara warga yang hidupnya pas-pasan hanya mengandalkan air tadah hujan atau bahkan air dari dari pohon pisang untuk minum.

“Saat ini bagaimana caranya Mami hadir bukan menjanjikan mereka, tidak. Semoga krisis air ini bisa Mami aspirasikan, bisa membangun jejaring,” kata Vera.

“Setelah reformasi, suasana kota berubah. Penerimaan masyarakat, juga kelompok dari tokoh-tokoh agama menjadi terbuka. Lalu gerakan hak asasi manusia di sana juga terlihat, gerakan yang didukung juga oleh para tokoh agama,” kata Khanis.

Pada tahun 1980-an komunitas transpuan di Maumere sampai “takut keluar rumah”.

Dalam wawancara bersama komunitas transpuan, Khanis mendapatkan pengakuan bahwa ada masanya para transpuan diteriaki, dihina, bahkan disiram air, dilempar pasir, hingga dilempar batu.

“Tidak mudah pada waktu itu,” tegas Khanis.

Para transpuan menjadi sangat berhati-hati dalam bertindak karena mereka tidak mau penghinaan terhadap mereka juga memberikan dampak bagi keluarga.

Mami Vera menceritakan bagaimana dia menghadapi warga yang “mendiskriminasi” mereka.

Dulu, komunitas transpuan kerap pendapat “hinaan” dan "ejekan". Namun, Mami Vera menghadapinya dengan memberikan pengertian, alih-alih memancing keributan.

“Saya menjelaskan ke dia bahwa saya juga bagian dari kehidupanmu, bagian dari keluargamu, kita juga sama-sama orang Maumere, kita mau ke mana-mana, masih keluarga semua. Jadi, terimalah saya,” ujarnya menegaskan.

Ketika tsunami menghantam Pulau Flores pada 1992 dan Kabupaten Sikka menjadi salah satu daerah yang paling terdampak, kata Khanis, banyak transpuan yang kemudian “mencari pekerjaan” ke Pulau Jawa, akibat kondisi ekonomi yang “sangat buruk”.

Dalam perantauannya, mereka menguasai keterampilan-keterampilan baru, seperti memotong rambut, merias wajah, menyanyi, hingga memasak.

Sekitar sepuluh tahun kemudian, kata Khanis, ketika kondisi kota pascatsunami juga mulai membaik dan komunitas transpuan juga mulai diterima, para transpuan yang tetap berada di Sikka memberikan kabar baik itu kepada mereka yang sedang merantau.

Para transpuan yang merantau pun “berangsur-angsur” kembali.

“Ketika kembali, mereka membangun salon-salon dan kemudian ada juga yang membantu pengantin untuk make-up dan lain-lain. Itu kan juga membawa perubahan. Orang melihat sesuatu yang baik dari teman-teman itu,” kata Khanis.

Ternyata keterampilan yang telah dikuasai para transpuan itu bisa memenuhi kebutuhan masyarakat di Sikka, bahkan disebut "tak tergantikan". Akhirnya kehadiran dan peran mereka bisa diterima di tengah kehidupan sosial masyarakat.

Peluang ini dimanfaatkan dengan baik oleh komunitas transpuan. Menurut Khanis, kemauan mereka untuk terlibat aktif dalam lingkungan juga menjadi salah satu pendorong mereka bisa diterima di masyarakat.

Misalnya, mereka aktif dalam kegiatan-kegiatan di tingkat RT. Saat ada tetangga yang menggelar pesta, mereka hadir membantu. Begitu juga ketika ada kedukaan. Mereka juga aktif dalam kegiatan-kegiatan di gereja.

“Ketika ada persoalan di dalam masyarakat mereka datang. Itu yang membuat masyarakat setempat itu juga melihat kontribusi mereka.”

“Masyarakat di sana [Sikka] itu kan tidak sekadar melihat identitas gender seseorang. Ketika orang memiliki keterampilan, maka keterampilan itu sangat dihargai. Jadi apakah mereka itu perempuan, laki-laki, atau waria, itu mereka pasti punya tempat,” ucap Khanis.

“Mereka [para transpuan] bisa berdiskusi, tampil, dan terlibat dalam banyak acara. Katakanlah acara pesta, nikah dan segala macam, mereka juga hadir. Acara-acara itu kan menghadirkan jumlah orang banyak dan mereka hadir malah diterima dan bisa berbaur,” kata Philip.

Meski komunitas transpuan sudah dua dekade lebih diterima di tengah masyarakat, menurut Philip, ini adalah kali pertama partainya memilih transpuan mewakili partai di tingkat kabupaten.

Bisa dibilang Mami Vera adalah pilihan terakhir mereka di detik-detik terakhir masa pendaftaran. Sebab, sebelumnya ada calon kader yang dalam perjalanannya menyatakan mundur di tengah jalan.

Mau tidak mau partai harus mencari pengganti lain untuk memenuhi kuota dan pilihan itu jatuh kepada Mami Vera.

Latar belakang Vera Cruz atau Melkiades Mas Mangdare yang beberapa kali menjadi ketua Persatuan Waria Kabupaten Sikka (Perwakas), bahkan sampai saat ini, membuat Philip dan partainya yakin kalau dia memiliki jiwa “kepemimpinan”.

Mami Vera juga dinilai bisa diajak bicara tentang “berbagai urusan soal pemerintahan”.

“Tidak ada catatan atau opini yang buruk terhadap dirinya. Memang tampilannya agak sedikit keluar dari pola umum, tetapi sejujurnya beliau punya pikiran yang bagi saya cukup cerdas,” ujar Philip.

“Dulu kecilnya mereka, ada penolakan dari keluarganya. Jadi itu Mami hadir dan minta, ini anak saya. Sekarang mereka sudah punya usaha sendiri, jadi kembali ke rumah masing-masing dan orang tua dan keluarga besar sudah menerima mereka,” ungkapnya.

Mami Vera menjabat sebagai Ketua Perwakas sejak 2017 sampai sekarang. Seharusnya masa jabatannya hanya berlaku lima tahun, tetapi saat pandemi komunitas transpuan itu tidak menggelar pemilihan ketua baru sehingga Mami Vera harus melanjutkan masa baktinya.

Dia bersyukur, di umur Perwakas yang sudah 25 tahun, mimpi dia dan teman-temannya untuk membuat komunitas transpuan diterima di tengah masyarakat sudah terwujud.

Kini mereka tinggal menikmati hasil perjuangan dan melanjutkan hidup seperti orang kebanyakan.

Termasuk Mami Vera, yang menjalani hidup dengan “sederhana” meski sendirian. Ibunya baru saja meninggal pada September 2023 lalu di usia 87 tahun, dan ayahnya sudah tutup usia sejak 17 tahun lalu.

Sementara saudara-saudara kandungnya yang lain sudah memiliki kehidupan masing-masing. Melkiades atau Vera Cruz adalah anak kelima dari tujuh bersaudara.

Di ruang tengah rumahnya yang bercat pink ada sebuah kursi keramas salon dan dua cermin yang menempel di dinding. Di situlah biasanya dia menerima tamu yang hendak memotong rambut atau meminta dirias.

Selain menerima klien di rumah, dia juga sering mendapat panggilan untuk merias pengantin, bahkan sampai ke luar kota.

Mami Vera juga sering diminta sebagai pemandu acara atau master of ceremony (MC) di beberapa acara gereja atau pesta. Tidak jarang juga dia diminta menyanyi.

Di beberapa kesempatan, dia juga diminta untuk memasak, seperti di acara kedukaan tetangganya beberapa hari sebelum kami menemuinya.

Mami Vera yang selalu menyebut dirinya “sederhana” mengaku tidak memiliki modal banyak untuk menjadi caleg. Pengadaan baliho saja, kata dia, dibantu oleh partai dan kartu-kartu pamungkasnya itu juga difasilitasi partai.

“Saya kalau mau menggadaikan sertifikat tanah buat dapat Rp500 juta untuk kampanye sebenarnya bisa, tapi saya tidak mau. Nanti saya malah fokus memikirkan bagaimana uang itu kembali, daripada memikirkan rakyat,” ujarnya.

Dia juga enggan meminjam uang dari keluarga dan kerabat lainnya, sebab dia tahu mereka juga punya kebutuhan lain.

Meski Mami Vera maju menjadi caleg dari kalangan minoritas dan dengan modal seadanya, dia tetap optimistis dengan apa yang sedang ia jalani saat ini. Namun, kalau harus gagal, dia pun siap menerima.

“Saya optimis, ketika Tuhan punya rencana untuk memberikan saya jalan, bahwa inilah Vera, inilah Melkiades Mas Mangdare, Anda harus duduk, ya saya duduk”.

“Kalau memang tidak terpilih, Mami tetap berusaha untuk lima tahun ke depan, bagaimana caranya mami untuk mengambil rasa empati dari keluarga dan masyarakat,” ujarnya.

Melkiades Mas Mangdare alias Vera Cruz harus mendapatkan minimal 2.000 suara untuk bisa duduk di kursi DPRD Kabupaten Sikka.

"Sebelum ada perda ini, sudah banyak terjadi kekerasan dan diskriminasi terhadap kawan-kawan LGBT, persekusi terhadap teman waria," kata Mahendra, salah satu komunitas LGBT kepada BBC Indonesia pada waktu itu.

Di tahun berikutnya, Makassar, Garut, dan Bandung membuat rancangan peraturan daerah (raperda) anti-Lesbian Gay Biseksual Transgender (LGBT) dan pada Juli 2023, pemerintah Kabupaten Garut mengesahkan perda itu.

Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menyebut raperda anti-LGBT yang digagas di sejumlah daerah itu muncul sebagai “tren menjelang tahun politik”, yang berpotensi memperburuk diskriminasi dan persekusi terhadap LGBT, termasuk komunitas transpuan.

Khanis Suvianita, dosen IFTK Ledalero yang meneliti tentang agama dan komunitas transpuan, mengatakan saat ini beberapa kota mulai mengalami perubahan pandangan terhadap komunitas transpuan.

Kota yang dulunya menerima komunitas transpuan dengan baik, kini justru berbalik menolak mereka.

“Ada beberapa kota yang dulunya teman-teman diterima dengan baik tetapi kemudian bergeser karena macam-macam, apakah itu melalui gerakan agama, apakah itu melalui gerakan konservatif yang semakin menguat juga di dalam masyarakat kita.”

“Lalu kemudian juga politik untuk memanfaatkan suara-suara mereka, election time itu juga menjadi penanda bagaimana wacana tentang keragaman identitas gender itu dimanfaatkan oleh sebagian politikus itu,” lanjut Khanis lagi.

Namun, Kabupaten Sikka berbeda.

“Meski kita tidak sepenuhnya punya gambaran yang sangat jelas tentang bagaimana kelompok identitas transpuan itu diterima di dalam masyarakat, Sikka menjadi satu contoh yang baik, saya setuju,” tandasnya.

https://regional.kompas.com/read/2024/02/07/111200278/kisah-mami-vera-caleg-transpuan-pertama-di-ntt

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke