Tadi pagi saat memungkasi acara meludan wengi para pria Jaton ini menyuguhkan hadrah, seni tradisi masyarakat Islam. Hadrah ini selalu hadir dalam perayaan hari besar Islam, dengan ragam multikulturalnya mampu menumbuhkan sikap ksatria dan nasionalisme warga Jaton.
Usai riuh hadrah di masjid, masyarakat kembali pulang ke rumah masing-masing. Matahari pagi tanpa awan yang menyengat kulit mempercepat langkah para pria Jaton ini.
Orang-orang Jaton ini adalah keturunan Kiyai Mojo dan para pengikutnya yang dibuang di Tondano oleh Pemerintah kolonial Belanda setelah Perang Diponegoro atau Perang Jawa di tahun 1830. Mereka adalah kelompok santri yang dibawa Belanda tanpa keluarga.
Di tempat barunya di Minahasa, mereka diterima baik oleh para walak (pemimpin lokal Minahasa), yang kemudian menikahi para gadis Minahasa. Dari perkawinan inilah orang Jaton lahir.
Syair hadrah di masjid masih terngiang dalam hati, nasihat para leluhur untuk menjaga persaudaraan, menguatkan kemanusiaan.
Meimo kita maleos-leosan, tea’mo kita manelok-nelokan, esano nate kita nuwaya, kita kumeang matimboyan lawas. Mari jo torang baku-baku bae, jangang sampai bakalae, satukan hati kita semua, karena torang samua basudara. Mari kita saling berbaikan, jangan berkelahi, menyatukan hati semuanya, karena kita bersaudara.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.