Meski polisi mengatakan bahwa telah ada pembicaraan adat sebelum peristiwa itu terjadi, perwakilan dari keluarga ayah korban mengatakan sebaliknya.
Tante korban dari pihak ayah, Lusia Wini Bulu, mengaku sama sekali tidak mengetahui rencana terduga pelaku untuk menculik dan menikahi keponakannya.
Menurut Luisa, yang menyetujui rencana kawin tangkap itu adalah ibu dan paman korban.
Lusia menyatakan dirinya menolak untuk berdamai dengan pihak terduga pelaku, apapun alasannya.
“Perbuatan itu keji dan jelas tidak bermartabat. Kami sepakat meminta [terduga] pelakunya di proses sesuai hukum,” kata Lusia kepada Rendi Tonggoro yang melapor untuk BBC News Indonesia.
Sementara, ayah korban, Timotius Malo, mengatakan lewat sambungan telepon bahwa dia tidak menyetujui pernikahan antara anaknya dengan terduga pelaku.
Baca juga: Kawin Tangkap di Sumba Barat Daya, Polisi Periksa 6 Orang Saksi
Saat ini, korban sudah dipulangkan ke rumahnya. Namun, berdasarkan pantauan wartawan di lapangan pada Jumat (08/09) sore, rumah korban dikelilingi oleh massa yang menghalangi akses ke rumah korban.
Menurut Martha Hebi, seorang penulis perempuan asal Sumba yang pernah meneliti tentang kawin tangkap, kebiasaan “membawa lari perempuan” untuk dinikahi ini masih terjadi di beberapa wilayah di Sumba.
Di Kabupaten Sumba Tengah, misalnya, kebiasaan ini dikenal dengan istilah yappa maradda.
Praktiknya, perempuan lajang bisa saja tiba-tiba dihampiri oleh segerombolan laki-laki, lalu dibekap, dan dibawa lari ke rumah keluarga seorang laki-laki untuk dijadikan istri.
Walaupun perempuan tersebut meronta atau menjerit minta tolong, Martha mengatakan biasanya tidak ada warga yang membantunya karena dianggap sebagai “sebuah kebiasaan”. Proses yang selanjutnya terjadi kemudian dianggap sebagai "urusan adat".
Martha juga mengatakan bahwa perempuan yang ditangkap biasanya masih memiliki relasi kekerabatan dengan pihak laki-laki.
Baca juga: Viral, Video Kasus Kawin Tangkap di Sumba Barat Daya, NTT, Apa Itu?
Relasi itu pula yang akhirnya membuat praktik kawin tangkap sulit ditentang oleh keluarga korban.
“Istilahnya anak om, anak tante, harus ada relasinya. Sering kali relasi kekerabatan ini membuat keluarga perempuan merasa, ‘Ya sudah itu kerabat kita, tidak enak kalau kita batalkan’,” kata Martha.
Selain itu, ada pula kawin tangkap yang terjadi berdasarkan kesepakatan adat antara keluarga perempuan dan laki-laki lebih dulu, seperti yang terjadi pada korban D.
Praktik kawin tangkap ini telah ditentang oleh para pegiat perempuan di Sumba. Bahkan sejumlah kasus yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir telah diusut secara pidana.
Martha mencatat ada 12 kasus kawin tangkap yang terjadi sejak 2013 hingga 2020. Tapi dia meyakini jumlah kasus yang sebenarnya terjadi ada lebih banyak dari itu.
Dalam laporan BBC News Indonesia pada 2020, pengamat budaya Sumba, Frans Wora Hebi mengatakan bahwa kawin tangkap “bukan budaya turun-temurun”, melainkan praktik yang berkembang dengan berlindung di balik klaim budaya demi menghindari tindakan hukum.
"Yang budaya itu ialah kawin yang melalui prosedur. Jadi mula-mula, kalau anak laki-laki kita mau ambil istri, harus datangi orang tua [perempuan] lalu menanyakan. Itu pun bukan menanyakan secara langsung, tapi masih pakai bahasa simbolisme - 'Apakah di sini ada pisang yang sudah ranum? Tebu yang sudah berbunga?' - Begitu di Sumba Timur.”
"Kalau di Sumba Barat - 'Apakah di sini ada bibit padi? Bibit jagung?' - itulah maksudnya, tidak langsung," kata Frans.