“Ini masih dilihat sebagai, ‘Ah ini biasa saja, ini sudah tradisi, calonnya memang sudah anak om atau anak tante’. Selalu dibawa ke jalur adat, selalu dibawa ke jalur tradisi. Padahal ini pidana,” kata Martha.
Pada 2020 lalu, para bupati di Pulau Sumba sempat meneken kesepahaman untuk menolak kawin tangkap sebagai budaya Sumba, setelah kasus yang menimpa seorang perempuan mengemuka.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga, turut menghadiri penandatanganan kesepakatan itu. Kesepakatan itu juga mencakup peningkatan upaya perlindungan perempuan dan anak.
Namun, Martha menilai kesepakatan itu belum mampu benar-benar menghapus praktik kawin tangkap. Hal itu dibuktikan dengan terjadinya kasus yang menimpa D.
Baca juga: Aksi Kawin Tangkap di Sumba Barat Daya NTT Terekam CCTV dan Videonya Viral di Medsos
Hal senada juga disampaikan oleh Aprissa Taranau dari PERUATI. Namun sejak ada konsekuensi hukum atas praktik ini, banyak kawin tangkap dilakukan secara diam-diam dan tak terungkap di media.
“Sebenarnya masih terjadi, tapi hanya karena ditutup-tutupi. Masih setiap tahun pasti terjadi,” kata dia.
“Kami hanya ingin menagih janji pemerintah yang sudah mengadakan kesepakatan. Mana realisasinya ketika ini terjadi di depan mata?" sambungnya.
BBC News Indonesia sudah berupaya untuk menghubungi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk meminta tanggapan.
Namun, hingga berita ini dinaikkan, deputi yang bersangkutan belum memberikan respons.
Baca juga: Video Viral Kasus Kawin Tangkap di Sumba Barat, Polisi Turun Tangan
Langgengnya praktik ini, kata Aprissa, membuat banyak perempuan Sumba merasa was-was karena sewaktu-waktu dapat menjadi korban dan rentan menjadi korban kekerasan.
“Di mana lagi ruang aman untuk perempuan? Di rumah bukan ruang aman karena keluarga juga bisa jadi pelaku kekerasan terhadap anaknya," ujar Aprissa.
Banyak korban pada akhirnya terpaksa menjalankan pernikahan secara paksa karena merasa tidak memiliki pilihan.
Aprissa mengatakan para korban mengalami kekerasan berlapis, mulai dari kekerasan fisik, kekerasan psikis, hingga kekerasan seksual.
"Susah sekali melepaskan diri dari belenggu kawin tangkap ini, apalagi kalau daya dukung keluarga sangat kurang," tuturnya.
Baca juga: Perkawinan Anak hingga Kawin Tangkap, Janji Terucap karena Tuntutan Adat
Oleh sebab itu, dia menuntut para perlaku ditindak secara pidana agar timbul efek jera.
Tradisi, kata dia, tidak boleh menjadi dalih atas praktik kekerasan berbasis gender ini.
“Kalau kita melihat perspektif korban, kita akan tahu dan tidak akan berpikir ke arah sana [bahwa ini tradisi]. Ini adalah kejahatan kemanusiaan," kata Aprissa.
"Kami akan terus bersuara bahwa ini tidak bisa lagi dilakukan."
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.