Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kawin Tangkap, di Mana Ruang Aman untuk Perempuan?

Kompas.com - 10/09/2023, 17:57 WIB
Rachmawati

Editor

KOMPAS.com - Sejumlah aktivis perempuan mengutuk terulangnya praktik kawin tangkap yang menimpa perempuan berinisial D di Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur (NTT), pada Kamis (7/9). Mereka mendesak agar "kekerasan berdalih tradisi" ini dihapuskan.

Berdasarkan video rekaman yang beredar di media sosial dan telah dikonfirmasi oleh BBC News Indonesia, korban D tampak tiba-tiba ditangkap sekelompok laki-laki lalu dibawa menggunakan mobil pikap.

Praktik itu dikenal sebagai "kawin tangkap", yang menurut sejumlah aktivis perempuan di Sumba masih kerap dianggap sebagai tradisi.

"Sebagai perempuan Sumba, saya menganggap ini sebagai kejahatan kemanusiaan yang tidak boleh lagi dilakukan. Perempuan dianggap sebagai barang, objek, yang tidak punya hak untuk dirinya sendiri," kata Ketua Badan Pengurus Nasional Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi Indonesia (PERUATI), Aprissa Tanau, kepada BBC News Indonesia.

Baca juga: Kementerian PPPA Dorong Penghentian Aksi Kawin Tangkap di NTT

Polisi telah menetapkan empat orang tersangka terkait kasus kawin tangkap tersebut.

Sebelumnya, polisi mengatakan bahwa menurut hasil pemeriksaan sementara peristiwa itu terjadi setelah ada pembicaraan dari keluarga terduga pelaku dan keluarga korban. Namun, korban mengaku tidak mengenal terduga pelaku sama sekali.

Komisioner Komnas Perempuan, Satyawanti Mashudi, mendorong agar kasus ini diselesaikan secara pidana.

Dia mengatakan praktik itu adalah bentuk perampasan kemerdekaan yang melanggar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Selain itu, kasus semacam ini juga dapat diproses menggunakan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).

Namun, menurutnya, tantangan terbesar untuk benar-benar menghapuskan praktik ini adalah menghilangkan anggapan kawin tangkap sebagai “praktik budaya”.

Baca juga: Kementerian PPPA Sebut Aksi Kawin Tangkap Cederai Hak Perempuan

Bagaimana kronologi penculikan D?

Tangkapan layar video yang menunjukkan aksi kawin tangkap di Sumba Barat DayaTangkapan layar Tangkapan layar video yang menunjukkan aksi kawin tangkap di Sumba Barat Daya
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Sumba Barat Daya, AKP Rio Panggabean mengatakan peristiwa itu terjadi pada Kamis (07/09) pagi sekitar pukul 10.00 WITA.

Saat D baru saja kembali dari pasar, ia diberitahu pamannya bahwa terjadi keributan di belakang rumah budaya yang berjarak beberapa kilometer dari tempat tinggal D.

D kemudian pergi dengan pamannya ke pertigaan Wowara, Desa Waimangura, Sumba Daya Barat. Pamannya kemudian turun dari kendaraan untuk membeli rokok.

Setelah menunggu beberapa menit, segerombolan laki-laki yang terdiri dari 20 orang langsung menyekap D dan membawanya ke rumah milik terduga pelaku di Erunaga, Desa Weekura, Sumba Barat Daya.

”Dia [korban] dinaikkan ke mobil pikap dan dibawa ke rumah untuk membicarakan adat,” kata AKP Rio Panggabean kepada BBC News Indonesia.

Setelah video yang direkam warga itu viral di media sosial, polisi langsung memanggil korban, keluarga korban, dan para terduga pelaku untuk dimintai keterangan terkait peristiwa itu.
”Setelah kami mendalami keterangan para saksi, memang sebelumnya sudah ada pembicaraan adat dari keluarga korban kepada keluarga terduga pelaku,” ujar Rio.

Baca juga: Mengenal Kawin Tangkap di Sumba, Bagaimana Seharusnya Tradisi Ini Dilakukan?

Namun, menurut Rio, korban mengaku tidak mengenal terduga pelaku sama sekali.

"Kalau dari keterangan korban dia tidak mau dijodohkan seperti ini. Dipaksa begitu," kata Rio.

Rio mengatakan, ada unsur pidana dari peristiwa ini karena "telah merampas kemerdekaan" korban yang diculik secara paksa.

Polisi akan mengenakan delik perampasan kemerdekaan berdasarkan KUHP, sekaligus Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam mengusut kasus ini.

Pada hari Sabtu (09/09), Rio mengabarkan kepada BBC News Indonesia lewat pesan tertulis bahwa Polres Sumba Barat Daya sudah menetapkan empat orang tersangka.

Mereka adalah Yohanes Bili Tangggu (29 tahun), Lede Ngongo alias Ama Lius, Lede Ngongo alias Ama Sili, dan Heribertus Tanggu (25 tahun). Keempatnya berasal dari Desa Weekura, Kecamatan Wewewa Barat.

Baca juga: Apa Itu Kawin Tangkap yang Terjadi di Sumba? Ini Penjelasan Budayawan

Keluarga korban mengaku tidak tahu

Foto ilustrasi wanita Sumba. Pegiat perempuan mengatakan kawin tangkap merendahkan martabat perempuan. Reuters/Willy Kurniawan Foto ilustrasi wanita Sumba. Pegiat perempuan mengatakan kawin tangkap merendahkan martabat perempuan.
Meski polisi mengatakan bahwa telah ada pembicaraan adat sebelum peristiwa itu terjadi, perwakilan dari keluarga ayah korban mengatakan sebaliknya.

Tante korban dari pihak ayah, Lusia Wini Bulu, mengaku sama sekali tidak mengetahui rencana terduga pelaku untuk menculik dan menikahi keponakannya.

Menurut Luisa, yang menyetujui rencana kawin tangkap itu adalah ibu dan paman korban.

Lusia menyatakan dirinya menolak untuk berdamai dengan pihak terduga pelaku, apapun alasannya.

“Perbuatan itu keji dan jelas tidak bermartabat. Kami sepakat meminta [terduga] pelakunya di proses sesuai hukum,” kata Lusia kepada Rendi Tonggoro yang melapor untuk BBC News Indonesia.

Sementara, ayah korban, Timotius Malo, mengatakan lewat sambungan telepon bahwa dia tidak menyetujui pernikahan antara anaknya dengan terduga pelaku.

Baca juga: Kawin Tangkap di Sumba Barat Daya, Polisi Periksa 6 Orang Saksi

Saat ini, korban sudah dipulangkan ke rumahnya. Namun, berdasarkan pantauan wartawan di lapangan pada Jumat (08/09) sore, rumah korban dikelilingi oleh massa yang menghalangi akses ke rumah korban.

Apa itu kawin tangkap?

Menurut Martha Hebi, seorang penulis perempuan asal Sumba yang pernah meneliti tentang kawin tangkap, kebiasaan “membawa lari perempuan” untuk dinikahi ini masih terjadi di beberapa wilayah di Sumba.

Di Kabupaten Sumba Tengah, misalnya, kebiasaan ini dikenal dengan istilah yappa maradda.

Praktiknya, perempuan lajang bisa saja tiba-tiba dihampiri oleh segerombolan laki-laki, lalu dibekap, dan dibawa lari ke rumah keluarga seorang laki-laki untuk dijadikan istri.

Walaupun perempuan tersebut meronta atau menjerit minta tolong, Martha mengatakan biasanya tidak ada warga yang membantunya karena dianggap sebagai “sebuah kebiasaan”. Proses yang selanjutnya terjadi kemudian dianggap sebagai "urusan adat".

Martha juga mengatakan bahwa perempuan yang ditangkap biasanya masih memiliki relasi kekerabatan dengan pihak laki-laki.

Baca juga: Viral, Video Kasus Kawin Tangkap di Sumba Barat Daya, NTT, Apa Itu?

Relasi itu pula yang akhirnya membuat praktik kawin tangkap sulit ditentang oleh keluarga korban.

“Istilahnya anak om, anak tante, harus ada relasinya. Sering kali relasi kekerabatan ini membuat keluarga perempuan merasa, ‘Ya sudah itu kerabat kita, tidak enak kalau kita batalkan’,” kata Martha.

Selain itu, ada pula kawin tangkap yang terjadi berdasarkan kesepakatan adat antara keluarga perempuan dan laki-laki lebih dulu, seperti yang terjadi pada korban D.

Praktik kawin tangkap ini telah ditentang oleh para pegiat perempuan di Sumba. Bahkan sejumlah kasus yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir telah diusut secara pidana.

Martha mencatat ada 12 kasus kawin tangkap yang terjadi sejak 2013 hingga 2020. Tapi dia meyakini jumlah kasus yang sebenarnya terjadi ada lebih banyak dari itu.

Dalam laporan BBC News Indonesia pada 2020, pengamat budaya Sumba, Frans Wora Hebi mengatakan bahwa kawin tangkap “bukan budaya turun-temurun”, melainkan praktik yang berkembang dengan berlindung di balik klaim budaya demi menghindari tindakan hukum.

"Yang budaya itu ialah kawin yang melalui prosedur. Jadi mula-mula, kalau anak laki-laki kita mau ambil istri, harus datangi orang tua [perempuan] lalu menanyakan. Itu pun bukan menanyakan secara langsung, tapi masih pakai bahasa simbolisme - 'Apakah di sini ada pisang yang sudah ranum? Tebu yang sudah berbunga?' - Begitu di Sumba Timur.”

"Kalau di Sumba Barat - 'Apakah di sini ada bibit padi? Bibit jagung?' - itulah maksudnya, tidak langsung," kata Frans.

Mengapa praktik kawin tangkap masih langgeng?

Ilustrasi korban kekerasan, pelecehan seksual SHUTTERSTOCK Ilustrasi korban kekerasan, pelecehan seksual
Menurut Martha, kawin tangkap masih langgeng karena "masih banyak yang menganggapnya sebagai tradisi".

“Ini masih dilihat sebagai, ‘Ah ini biasa saja, ini sudah tradisi, calonnya memang sudah anak om atau anak tante’. Selalu dibawa ke jalur adat, selalu dibawa ke jalur tradisi. Padahal ini pidana,” kata Martha.

Pada 2020 lalu, para bupati di Pulau Sumba sempat meneken kesepahaman untuk menolak kawin tangkap sebagai budaya Sumba, setelah kasus yang menimpa seorang perempuan mengemuka.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga, turut menghadiri penandatanganan kesepakatan itu. Kesepakatan itu juga mencakup peningkatan upaya perlindungan perempuan dan anak.

Namun, Martha menilai kesepakatan itu belum mampu benar-benar menghapus praktik kawin tangkap. Hal itu dibuktikan dengan terjadinya kasus yang menimpa D.

Baca juga: Aksi Kawin Tangkap di Sumba Barat Daya NTT Terekam CCTV dan Videonya Viral di Medsos

Hal senada juga disampaikan oleh Aprissa Taranau dari PERUATI. Namun sejak ada konsekuensi hukum atas praktik ini, banyak kawin tangkap dilakukan secara diam-diam dan tak terungkap di media.

“Sebenarnya masih terjadi, tapi hanya karena ditutup-tutupi. Masih setiap tahun pasti terjadi,” kata dia.

“Kami hanya ingin menagih janji pemerintah yang sudah mengadakan kesepakatan. Mana realisasinya ketika ini terjadi di depan mata?" sambungnya.

BBC News Indonesia sudah berupaya untuk menghubungi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk meminta tanggapan.

Namun, hingga berita ini dinaikkan, deputi yang bersangkutan belum memberikan respons.

Baca juga: Video Viral Kasus Kawin Tangkap di Sumba Barat, Polisi Turun Tangan

Di mana lagi ruang aman untuk perempuan?

Langgengnya praktik ini, kata Aprissa, membuat banyak perempuan Sumba merasa was-was karena sewaktu-waktu dapat menjadi korban dan rentan menjadi korban kekerasan.

“Di mana lagi ruang aman untuk perempuan? Di rumah bukan ruang aman karena keluarga juga bisa jadi pelaku kekerasan terhadap anaknya," ujar Aprissa.

Banyak korban pada akhirnya terpaksa menjalankan pernikahan secara paksa karena merasa tidak memiliki pilihan.

Aprissa mengatakan para korban mengalami kekerasan berlapis, mulai dari kekerasan fisik, kekerasan psikis, hingga kekerasan seksual.

"Susah sekali melepaskan diri dari belenggu kawin tangkap ini, apalagi kalau daya dukung keluarga sangat kurang," tuturnya.

Baca juga: Perkawinan Anak hingga Kawin Tangkap, Janji Terucap karena Tuntutan Adat

Oleh sebab itu, dia menuntut para perlaku ditindak secara pidana agar timbul efek jera.

Tradisi, kata dia, tidak boleh menjadi dalih atas praktik kekerasan berbasis gender ini.

“Kalau kita melihat perspektif korban, kita akan tahu dan tidak akan berpikir ke arah sana [bahwa ini tradisi]. Ini adalah kejahatan kemanusiaan," kata Aprissa.

"Kami akan terus bersuara bahwa ini tidak bisa lagi dilakukan."

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kebakaran Rumah di Bantaran Rel Kereta Api Solo, 25 Warga Mengungsi

Kebakaran Rumah di Bantaran Rel Kereta Api Solo, 25 Warga Mengungsi

Regional
Maju Pilkada Solo, Caleg Terpilih Kevin Fabiano Daftar Cawalkot di PDI-P

Maju Pilkada Solo, Caleg Terpilih Kevin Fabiano Daftar Cawalkot di PDI-P

Regional
Sedihnya Hasanuddin, Tabungan Rp 5 Juta Hasil Jualan Angkringan Ikut Terbakar Bersama Rumahnya

Sedihnya Hasanuddin, Tabungan Rp 5 Juta Hasil Jualan Angkringan Ikut Terbakar Bersama Rumahnya

Regional
Maju Lagi di Pilkada, Mantan Wali Kota Tegal Dedy Yon Daftar Penjaringan ke PKS

Maju Lagi di Pilkada, Mantan Wali Kota Tegal Dedy Yon Daftar Penjaringan ke PKS

Regional
Dua Caleg Terpilih di Blora Mundur, Salah Satunya Digantikan Anak Sendiri

Dua Caleg Terpilih di Blora Mundur, Salah Satunya Digantikan Anak Sendiri

Regional
Perajin Payung Hias di Magelang Banjir Pesanan Jelang Waisak, Cuan Rp 30 Juta

Perajin Payung Hias di Magelang Banjir Pesanan Jelang Waisak, Cuan Rp 30 Juta

Regional
9 Rumah di Bantaran Rel Kereta Kota Solo Terbakar

9 Rumah di Bantaran Rel Kereta Kota Solo Terbakar

Regional
Pimpin Aksi Jumat Bersih, Bupati HST Minta Masyarakat Jadi Teladan bagi Sesama

Pimpin Aksi Jumat Bersih, Bupati HST Minta Masyarakat Jadi Teladan bagi Sesama

Regional
Harga Tiket dan Jadwal Travel Semarang-Banjarnegara PP

Harga Tiket dan Jadwal Travel Semarang-Banjarnegara PP

Regional
Sempat Ditutup karena Longsor di Sitinjau Lauik, Jalur Padang-Solok Dibuka Lagi

Sempat Ditutup karena Longsor di Sitinjau Lauik, Jalur Padang-Solok Dibuka Lagi

Regional
Dugaan Korupsi Pengadaan Bandwidth Internet, Plt Kepala Dinas Kominfo Dumai Ditahan

Dugaan Korupsi Pengadaan Bandwidth Internet, Plt Kepala Dinas Kominfo Dumai Ditahan

Regional
KY Tanggapi soal Status Tahanan Kota 2 Terpidana Korupsi di NTB

KY Tanggapi soal Status Tahanan Kota 2 Terpidana Korupsi di NTB

Regional
Pemilik Pajero Pasang Senapan Mesin di Kap, Mengaku Hanya untuk Konten Medsos

Pemilik Pajero Pasang Senapan Mesin di Kap, Mengaku Hanya untuk Konten Medsos

Regional
Update Bencana Sumbar, BPBD Sebut 61 Korban Tewas, 14 Orang Hilang

Update Bencana Sumbar, BPBD Sebut 61 Korban Tewas, 14 Orang Hilang

Regional
Resmi Usung Gus Yusuf Maju Pilgub Jateng, PKB Seleksi Partai Potensial untuk Berkoalisi

Resmi Usung Gus Yusuf Maju Pilgub Jateng, PKB Seleksi Partai Potensial untuk Berkoalisi

Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com