Salin Artikel

Kawin Tangkap, di Mana Ruang Aman untuk Perempuan?

Berdasarkan video rekaman yang beredar di media sosial dan telah dikonfirmasi oleh BBC News Indonesia, korban D tampak tiba-tiba ditangkap sekelompok laki-laki lalu dibawa menggunakan mobil pikap.

Praktik itu dikenal sebagai "kawin tangkap", yang menurut sejumlah aktivis perempuan di Sumba masih kerap dianggap sebagai tradisi.

"Sebagai perempuan Sumba, saya menganggap ini sebagai kejahatan kemanusiaan yang tidak boleh lagi dilakukan. Perempuan dianggap sebagai barang, objek, yang tidak punya hak untuk dirinya sendiri," kata Ketua Badan Pengurus Nasional Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi Indonesia (PERUATI), Aprissa Tanau, kepada BBC News Indonesia.

Polisi telah menetapkan empat orang tersangka terkait kasus kawin tangkap tersebut.

Sebelumnya, polisi mengatakan bahwa menurut hasil pemeriksaan sementara peristiwa itu terjadi setelah ada pembicaraan dari keluarga terduga pelaku dan keluarga korban. Namun, korban mengaku tidak mengenal terduga pelaku sama sekali.

Komisioner Komnas Perempuan, Satyawanti Mashudi, mendorong agar kasus ini diselesaikan secara pidana.

Dia mengatakan praktik itu adalah bentuk perampasan kemerdekaan yang melanggar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Selain itu, kasus semacam ini juga dapat diproses menggunakan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).

Namun, menurutnya, tantangan terbesar untuk benar-benar menghapuskan praktik ini adalah menghilangkan anggapan kawin tangkap sebagai “praktik budaya”.

Saat D baru saja kembali dari pasar, ia diberitahu pamannya bahwa terjadi keributan di belakang rumah budaya yang berjarak beberapa kilometer dari tempat tinggal D.

D kemudian pergi dengan pamannya ke pertigaan Wowara, Desa Waimangura, Sumba Daya Barat. Pamannya kemudian turun dari kendaraan untuk membeli rokok.

Setelah menunggu beberapa menit, segerombolan laki-laki yang terdiri dari 20 orang langsung menyekap D dan membawanya ke rumah milik terduga pelaku di Erunaga, Desa Weekura, Sumba Barat Daya.

”Dia [korban] dinaikkan ke mobil pikap dan dibawa ke rumah untuk membicarakan adat,” kata AKP Rio Panggabean kepada BBC News Indonesia.

Setelah video yang direkam warga itu viral di media sosial, polisi langsung memanggil korban, keluarga korban, dan para terduga pelaku untuk dimintai keterangan terkait peristiwa itu.
”Setelah kami mendalami keterangan para saksi, memang sebelumnya sudah ada pembicaraan adat dari keluarga korban kepada keluarga terduga pelaku,” ujar Rio.

Namun, menurut Rio, korban mengaku tidak mengenal terduga pelaku sama sekali.

"Kalau dari keterangan korban dia tidak mau dijodohkan seperti ini. Dipaksa begitu," kata Rio.

Rio mengatakan, ada unsur pidana dari peristiwa ini karena "telah merampas kemerdekaan" korban yang diculik secara paksa.

Polisi akan mengenakan delik perampasan kemerdekaan berdasarkan KUHP, sekaligus Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam mengusut kasus ini.

Pada hari Sabtu (09/09), Rio mengabarkan kepada BBC News Indonesia lewat pesan tertulis bahwa Polres Sumba Barat Daya sudah menetapkan empat orang tersangka.

Mereka adalah Yohanes Bili Tangggu (29 tahun), Lede Ngongo alias Ama Lius, Lede Ngongo alias Ama Sili, dan Heribertus Tanggu (25 tahun). Keempatnya berasal dari Desa Weekura, Kecamatan Wewewa Barat.

Tante korban dari pihak ayah, Lusia Wini Bulu, mengaku sama sekali tidak mengetahui rencana terduga pelaku untuk menculik dan menikahi keponakannya.

Menurut Luisa, yang menyetujui rencana kawin tangkap itu adalah ibu dan paman korban.

Lusia menyatakan dirinya menolak untuk berdamai dengan pihak terduga pelaku, apapun alasannya.

“Perbuatan itu keji dan jelas tidak bermartabat. Kami sepakat meminta [terduga] pelakunya di proses sesuai hukum,” kata Lusia kepada Rendi Tonggoro yang melapor untuk BBC News Indonesia.

Sementara, ayah korban, Timotius Malo, mengatakan lewat sambungan telepon bahwa dia tidak menyetujui pernikahan antara anaknya dengan terduga pelaku.

Saat ini, korban sudah dipulangkan ke rumahnya. Namun, berdasarkan pantauan wartawan di lapangan pada Jumat (08/09) sore, rumah korban dikelilingi oleh massa yang menghalangi akses ke rumah korban.

Apa itu kawin tangkap?

Menurut Martha Hebi, seorang penulis perempuan asal Sumba yang pernah meneliti tentang kawin tangkap, kebiasaan “membawa lari perempuan” untuk dinikahi ini masih terjadi di beberapa wilayah di Sumba.

Di Kabupaten Sumba Tengah, misalnya, kebiasaan ini dikenal dengan istilah yappa maradda.

Praktiknya, perempuan lajang bisa saja tiba-tiba dihampiri oleh segerombolan laki-laki, lalu dibekap, dan dibawa lari ke rumah keluarga seorang laki-laki untuk dijadikan istri.

Walaupun perempuan tersebut meronta atau menjerit minta tolong, Martha mengatakan biasanya tidak ada warga yang membantunya karena dianggap sebagai “sebuah kebiasaan”. Proses yang selanjutnya terjadi kemudian dianggap sebagai "urusan adat".

Martha juga mengatakan bahwa perempuan yang ditangkap biasanya masih memiliki relasi kekerabatan dengan pihak laki-laki.

Relasi itu pula yang akhirnya membuat praktik kawin tangkap sulit ditentang oleh keluarga korban.

“Istilahnya anak om, anak tante, harus ada relasinya. Sering kali relasi kekerabatan ini membuat keluarga perempuan merasa, ‘Ya sudah itu kerabat kita, tidak enak kalau kita batalkan’,” kata Martha.

Selain itu, ada pula kawin tangkap yang terjadi berdasarkan kesepakatan adat antara keluarga perempuan dan laki-laki lebih dulu, seperti yang terjadi pada korban D.

Praktik kawin tangkap ini telah ditentang oleh para pegiat perempuan di Sumba. Bahkan sejumlah kasus yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir telah diusut secara pidana.

Martha mencatat ada 12 kasus kawin tangkap yang terjadi sejak 2013 hingga 2020. Tapi dia meyakini jumlah kasus yang sebenarnya terjadi ada lebih banyak dari itu.

Dalam laporan BBC News Indonesia pada 2020, pengamat budaya Sumba, Frans Wora Hebi mengatakan bahwa kawin tangkap “bukan budaya turun-temurun”, melainkan praktik yang berkembang dengan berlindung di balik klaim budaya demi menghindari tindakan hukum.

"Yang budaya itu ialah kawin yang melalui prosedur. Jadi mula-mula, kalau anak laki-laki kita mau ambil istri, harus datangi orang tua [perempuan] lalu menanyakan. Itu pun bukan menanyakan secara langsung, tapi masih pakai bahasa simbolisme - 'Apakah di sini ada pisang yang sudah ranum? Tebu yang sudah berbunga?' - Begitu di Sumba Timur.”

"Kalau di Sumba Barat - 'Apakah di sini ada bibit padi? Bibit jagung?' - itulah maksudnya, tidak langsung," kata Frans.

“Ini masih dilihat sebagai, ‘Ah ini biasa saja, ini sudah tradisi, calonnya memang sudah anak om atau anak tante’. Selalu dibawa ke jalur adat, selalu dibawa ke jalur tradisi. Padahal ini pidana,” kata Martha.

Pada 2020 lalu, para bupati di Pulau Sumba sempat meneken kesepahaman untuk menolak kawin tangkap sebagai budaya Sumba, setelah kasus yang menimpa seorang perempuan mengemuka.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga, turut menghadiri penandatanganan kesepakatan itu. Kesepakatan itu juga mencakup peningkatan upaya perlindungan perempuan dan anak.

Namun, Martha menilai kesepakatan itu belum mampu benar-benar menghapus praktik kawin tangkap. Hal itu dibuktikan dengan terjadinya kasus yang menimpa D.

Hal senada juga disampaikan oleh Aprissa Taranau dari PERUATI. Namun sejak ada konsekuensi hukum atas praktik ini, banyak kawin tangkap dilakukan secara diam-diam dan tak terungkap di media.

“Sebenarnya masih terjadi, tapi hanya karena ditutup-tutupi. Masih setiap tahun pasti terjadi,” kata dia.

“Kami hanya ingin menagih janji pemerintah yang sudah mengadakan kesepakatan. Mana realisasinya ketika ini terjadi di depan mata?" sambungnya.

BBC News Indonesia sudah berupaya untuk menghubungi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak untuk meminta tanggapan.

Namun, hingga berita ini dinaikkan, deputi yang bersangkutan belum memberikan respons.

Di mana lagi ruang aman untuk perempuan?

Langgengnya praktik ini, kata Aprissa, membuat banyak perempuan Sumba merasa was-was karena sewaktu-waktu dapat menjadi korban dan rentan menjadi korban kekerasan.

“Di mana lagi ruang aman untuk perempuan? Di rumah bukan ruang aman karena keluarga juga bisa jadi pelaku kekerasan terhadap anaknya," ujar Aprissa.

Banyak korban pada akhirnya terpaksa menjalankan pernikahan secara paksa karena merasa tidak memiliki pilihan.

Aprissa mengatakan para korban mengalami kekerasan berlapis, mulai dari kekerasan fisik, kekerasan psikis, hingga kekerasan seksual.

"Susah sekali melepaskan diri dari belenggu kawin tangkap ini, apalagi kalau daya dukung keluarga sangat kurang," tuturnya.

Oleh sebab itu, dia menuntut para perlaku ditindak secara pidana agar timbul efek jera.

Tradisi, kata dia, tidak boleh menjadi dalih atas praktik kekerasan berbasis gender ini.

“Kalau kita melihat perspektif korban, kita akan tahu dan tidak akan berpikir ke arah sana [bahwa ini tradisi]. Ini adalah kejahatan kemanusiaan," kata Aprissa.

"Kami akan terus bersuara bahwa ini tidak bisa lagi dilakukan."

https://regional.kompas.com/read/2023/09/10/175700478/kawin-tangkap-di-mana-ruang-aman-untuk-perempuan-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke