KOMPAS.com- Kepala Dinas Kebudayaan (Kadisbud) Provinsi Riau Raja Yoserial Zen mengatakan, pendapat para ahli soal Percandian Muara Takus merupakan hasil interpretasi yang bersifat relatif.
Pasalnya, sebut dia, ahli purbakala menggunakan metode pertanggalan carbon dating (C-14) yang belum diterapkan dalam kajian arkeologi Indonesia.
"Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau kemudian menjalankan program pelestarian dan pengelolaan cagar budaya untuk meneliti areal utama Percandian Muara Takus," tutur Raja melalui keterangan persnya, Rabu (30/8/2023).
Raja menjelaskan, penelitian dilakukan untuk mendapatkan sampel organik yang dibutuhkan dalam analisis penanggalan absolute lewat metode accelerated mass spectrometry (AMS).
Baca juga: Karhutla di Kampar Riau, Anggota Dewan: Saya Heran Kenapa Sering Terbakar
Analisis tersebut, lanjutnya, menggunakan sampel organik berupa arang. Saat ini, analisis sampel arang sudah dilakukan di Radiocarbon Dating Laboratory, di University of Waikato, Selandia Baru.
"Interpretasi hasil analisis tersebut akan dikorelasikan dengan penelitian sebelumnya. Tahapan pembangunan dan pemanfaatan Percandian Muara Takus juga mulai terlihat," tuturnya.
Sebagai informasi, sejak 1860 hingga 2022, Percandian Muara Takus telah diteliti oleh sejumlah pakar purbakala.
Menurut JL Moens (1937), percandian tersebut berasal dari era Kerajaan Sriwijaya pada abad ketujuh hingga kedelapan Masehi.
Adapun tahap awal pembangunan dan pemanfaatan Percandian Muara Takus dimulai pada abad ketiga hingga keenam Masehi yang ditandai dengan kedatangan seorang biksu Buddha. Saat itu, ia menyusuri Sungai Kampar Kanan ke pedalaman hingga tiba di Tapak Muara Takus.
Baca juga: Tebing Longsor Tutup Jalan Lintas Riau-Sumbar di Rokan Hulu
Kemudian pada abad ke-11 hingga ke-14 Masehi, Percandian Muara Takus masih tetap digunakan sebagai lokasi peribadatan umat Buddha Mahayana Tantrayana. Lokasi tersebut menjadi saksi berdirinya Malayapura di Dharmasraya.
"Hasil kajian pada 2022 membuktikan bahwa Percandian Muara Katus telah dibina sejak abad ketujuh Masehi bersamaan dengan deklarasi eksistensi kerajaan Sriwijaya di selatan Pulau Sumatera. Peradaban berlangsung sejak abad kedelapan hingga berakhir pada abad ke-15 masehi," jelas Raja.
Salah satu kajian menarik dari Percandian Muara Takus adalah penemuan Prasasti Ligor berangka 679 Saka atau 775 Masehi di Wat Sema Muang, Nakhon Si Thammarat, Thailand Selatan.
Prasasti berbahasa Sansekerta itu berisi berbagai kisah kehidupan agama Buddha aliran Vajrayana dalam Buddha Mahayana. Peneliti percaya bahwa Prasasti Ligor merupakan prasasti yang berasal dari Percandian Muara Takus.
Terdapat teori yang menyebutkan bahwa Prasasti Ligor yang awalnya berada di Percandian Muara Takus, terpotong dan terdampar di Thailand Selatan.