Muhammad Irwan mengatakan kliennya selaku pengguna semestinya disangkakan pasal 127 UU Narkotika yakni sanksi rehabilitasi atau maksimal penjara empat tahun.
Toh, sebelumnya Boni juga diperiksa secara medis oleh tim dokter dari Badan Narkotika Nasional (BNN) sebuah kabupaten di Jawa Barat.
Pemeriksaan tersebut menyebutkan Boni termasuk kategori pengguna ringan karena menggunakan sabu hanya pada saat tertentu.
Tidak ditemukan pula gangguan mental pada dirinya.
Di persidangan, Irwan juga berkata, dirinya berupaya mematahkan dakwaan jaksa penuntut dan meyakinkan hakim bahwa mens rea atau sikap batin kliennya memiliki narkotika adalah "untuk digunakan".
Sebab kalau hanya merujuk pada dakwaan pasal 112 dan 114, maka kliennya disamakan seperti bandar, pengedar, atau kurir.
Baca juga: Bandar Narkoba di Bali Jalankan Bisnis dari Lapas Kerobokan, Miliki Aset Rp 15 Miliar
Selain itu, Boni juga dipastikan tidak terlibat dalam jaringan peredaran gelap narkotika.
Hanya saja karena hakim tak bisa memutus dengan pasal yang tidak didakwakan, maka Irwan meminta hakim memvonis kliennya dengan hukuman di bawah minimum dengan bersandar pada Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2015.
Dari tuntutan lima tahun penjara, Boni akhirnya diputus hakim pengadilan tingkat satu di Jawa Barat pidana penjara selama 2,6 tahun dan menjalani rehabilitasi di lembaga pemasyarakatan.
Di Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika memuat beberapa teknik investigasi untuk membongkar jaringan atau sindikat peredaran gelap: pembelian terselubung (undercover buying) atau penyerahan di bawah pengawasan (control delivery).
Pembelian terselubung misalnya dilakukan dengan menyamar atau menyusup ke dalam geng atau mafia peredaran ilegal narkotika guna mengumpulkan bukti-bukti.
Sedangkan penyerahan di bawah pengawasan berarti polisi membiarkan transaksi narkoba terjadi sembari mengawasi penyerahan narkoba yang terkait dengan tindak pidana.
Dengan begitu orang-orang yang berkaitan dengan peredaran maupun jual-beli narkotika itu bisa ditangkap beserta barang bukti yang ada padanya.
Baca juga: Ayah dan Anak Tiri Jadi Bandar Narkoba Jaringan Malaysia di Wakatobi Sultra
Kedua teknik investigasi tersebut harus berdasarkan perintah tertulis dari pimpinan setelah mengantongi pola, aktor, metode dan jaringan yang terlibat.
Akan tetapi UU Narkotika tidak mengatur bagaimana kedua kewenangan itu dilaksanakan dalam konteks hukum acara pidana, kata peneliti di Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Girlie Ginting.
Dampaknya terbuka peluang terjadinya penjebakan atau rekayasa - dan itu haram dilakukan aparat penegak hukum, kata Girlie.
Penelitian ICJR menemukan setidaknya ada tiga pertanda polisi melakukan penjebakan.
Pertama, si polisi merupakan inisiator terjadinya penyerahan narkotika tersebut.
"Misalnya polisi membujuk si pelaku untuk membeli atau menjual barang itu."
Kedua, jika hal itu sulit diungkap karena alasan rahasia maka cara lain yang bisa menandakan terjadinya praktik penjebakan adalah saksi yang diajukan ke persidangan adalah anggota polisi yang menangkap.
"Karena polisi punya kepentingan di kasus itu, polisi mendapat reward [penghargaan] kalau bisa menangkap kasus narkotika," ujarnya.
Baca juga: Terlibat Kasus Penipuan dan Narkoba, 4 Anggota Polres Mamuju Tengah Dipecat
Demi mendapat penghargaan itulah, sambung Girlie, polisi lebih sering mengincar pengguna ketimbang bandar kelas kakap.
Ketiga, orang yang menyerahkan narkotika kepada korban penjebakan dibiarkan bebas atau statusnya buron.