Meninggalkan keempat anaknya yang masih kecil dan suami yang bekerja sebagai tukang batu, Meriance terbang ke Batam pada 11 April 2014.
Suami dan orang tuanya tak bisa lagi mengontaknya karena ponselnya diambil.
Di Batam, kata Meriance, mereka dibawa dua orang laki-laki ke penampungan sementara, dan kemudian dengan menggunakan kapal menyeberang ke Johor Bahru, Malaysia.
Baca juga: Soal Kematian Buruh Migran Adelina Lisao di Malaysia, Majikan Dibebaskan
"Sesampainya di Malaysia, ada bus yang jemput ke tempat penampungan, di sana banyak perempuan NTT. Lalu beberapa minggu kemudian majikan jemput saya," ujarnya.
Dia dijanjikan mendapatkan gaji MYR 700 (sekitar Rp 2,4 juta). Tujuan cepatnya saat itu adalah dapat mengirim uang dan membantu ekonomi keluarga yang dia sebut "sangat-sangat kurang".
Ketika itu dia bahkan berani bermimpi untuk bisa punya rumah sendiri.
Namun kenyataannya, setelah hanya tiga minggu bekerja Meriance justru mengalami penyiksaan kejam hingga berhasil diselamatkan polisi pada akhir Desember 2014.
Baca juga: Jelang Dibukanya Perbatasan Malaysia, Calon Buruh Migran dengan Paspor Palsu Bermunculan
Pengalaman serupa dialami oleh penyintas penyiksaan lain. Dia adalah perempuan NTT yang mengaku diperdaya oleh seseorang yang menyebut dirinya sebagai pendeta dan berada dalam satu persekutuan doa dengan keluarganya.
BBC menemui Nona, bukan nama sebenarnya, di Batam, tahun lalu.
Nona mengenang, satu minggu menjelang ulang tahunnya yang ke-17, rumahnya di Kupang dikunjungi oleh seseorang yang dia panggil "Opa".
"Opa itu mengaku pendeta dan bawa-bawa nama Tuhan. Dia bilang bahwa saya dipilih Tuhan kerja di Batam dan Malaysia," ujar Nona.
Di setiap proses pengurusan dokumen KTP hingga kartu keluarga, Nona menambahkan, Opa itu selalu mengajaknya berdoa.
"Dia juga kasih uang ke petugas buat urus KTP. Besok pagi KTP dan KK selesai. Usia saya diganti jadi 18 tahun," katanya.
Opa itu lalu memberangkatkan Nona ke Batam dan tinggal di sebuah perusahaan penyalur tenaga kerja.
Mengaku tidak mendapatkan gaji, dilarang berkomunikasi dengan keluarga hingga mendapatkan pelecehan, Nona melarikan diri dari perusahaan itu dan berlindung di sebuah shelter perlindungan di Batam.
Pendeta Emmy Sahertian, yang mendampingi Meriance sekaligus aktivis anti-perdagangan manusia, mengatakan, "Bagi orang desa yang mendengar 'Tuhan memilih kami untuk ke sana', mereka langsung percaya."
"Mereka menggunakan wajah agama, dan itu menampar kami juga," kata Pendeta Emmy.
Selain agama, Emmy mengatakan, para perekrut juga mengombinasikan bujukan itu dengan iming-iming gaji besar, proses dokumen mudah dan gratis, kerja yang ringan, hingga majikan yang baik.
"Nyatanya, proses ilegal itu membuat mereka mendapatkan penyiksaan hingga tewas, seperti yang dialami oleh Adelina Sau," kata Emmy, merujuk pada pekerja migran Indonesia yang meninggal pada Februari 2018, hanya beberapa hari setelah diselamatkan dari rumah majikannya
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.