Salin Artikel

Mafia Perdagangan Pekerja Migran Asal NTT, Modus "Rayuan Surgawi" hingga Penyiksaan (1)

Dalam menjerat korbannya, kata pegiat anti-perdagangan orang, sindikat TPPO tidak hanya menggunakan iming-iming gaji besar, proses dokumen mudah, cepat dan gratis.

Tapi para pelaku juga menggunakan "wajah agama" sebagai senjata ampuh untuk menipu masyarakat desa NTT yang mengultuskan agama sebagai jalan hidup atau kredo.

Salah satu korbannya adalah Meriance Kabu, penyintas yang mengaku direkrut dengan bujukan kelompok doa dari satu desa terpencil di Nusa Tenggara Timur (NTT).

Akibat persuasi kelompok doa itu, dia bekerja sebagai pekerja rumah tanga (PRT) nonprosedural pada 2014 di Malaysia.

Selama delapan bulan bekerja di Malaysia, Meriance mengalami "siksaan hingga menyebabkan luka-luka" - berdasarkan dokumen pengadilan Indonesia dan kesaksian petugas KBRI Malaysia yang membesuknya di rumah sakit.

Dokumen pengadilan itu merekam putusan terhadap dua perekrut tenaga kerja di NTT, yang dijebloskan ke penjara.

"Mengapa saudara saya sendiri, orang NTT, tega menipu dan bawa-bawa nama Tuhan? ... Sampai saya harus disiksa sekejam itu di Malaysia," kata Meriance.

Seorang terduga perekrut yang hingga kini buron, dikutip dari dokumen putusan pengadilan, berkata ke Meriance, "Kamu jangan takut, sebelum ke sini kami sudah berdoa… Nanti kamu akan mendapatkan bos yang baik di Malaysia… Jangan bawa apa-apa, semua bos yang urus dan bos yang tanggung."

Kesaksiannya tentang penyiksaan dan modus kejahatan TPPO yang dialami Meriance disebut dalam dokumen putusan Pengadilan Kupang hingga Mahkamah Agung, keterangan tetangga, dan pejabat KBRI yang membesuknya ketika di rumah sakit.

Belum dapat dipastikan jumlah korban dari sindikat mafia berkedok agama ini, namun pegiat mengatakan pelaku TPPO yang dipenjara umumnya hanyalah perekrut lapangan di tingkat desa, yang mereka sebut sebagai "ikan teri" atau "jari-jari".

Sedangkan, anggota sindikat "ikan kakap", kata Kepolisian Daerah NTT, masih banyak yang berkeliaran.

Meriance hanyalah satu dari segelintir pekerja migran Indonesia (PMI) nonprosedural asal NTT yang kembali dalam kondisi bernyawa. Sepanjang tahun 2014 hingga 2022, terdapat lebih dari 700 PMI asal NTT pulang dalam peti jenazah.

Sebagian besar dari mereka adalah pekerja gelap dan meninggal karena berbagai alasan.

Inilah cerita perjalanan Meriance yang terbujuk mafia TPPO berkedok agama, dan kesaksiannya mengenai jalur perdagangan manusia dari desa di NTT ke Malaysia.

Bibirnya, yang kini memiliki bekas luka permanen, mengulum senyum. Setiap selesai menenun, kata Meriance, ia tak kuasa menahan air mata hingga jatuh di pipinya.

"Dengan itu ingatan, itu kesedihan, saya menangis. Tapi saya harus balas dengan kekuatan saya sendiri. Saya harus kuat," kata Meriance menceritakan penderitaan yang dia alami saat menjadi PRT di Malaysia tahun 2014 silam.

Usai menyuguhkan minuman kepada kami, ibu empat anak itu bercerita perlu bertahun-tahun bagi dirinya untuk berjuang mengobati trauma dera masa lalu. "Perbudakan dan penyiksaan selama delapan bulan dalam neraka," kata dia.

"Sampai mati pun saya akan tetap tunggu itu keadilan... Saya mau ke Malaysia untuk mencari keadilan," katanya.

Terduga pelaku yaitu mantan majikannya Ong Su Ping Serene dilepaskan tanpa dibebaskan (DNAA - discharge not amounting to an acquittal) oleh pengadilan Malaysia pada Oktober 2017, dengan tiga dakwaan, yaitu penyiksaan, perdagangan manusia, dan pelanggaran keimigrasian.

"Masih belum jelas kelanjutan kasus Ong Su Ping Serene dengan ancaman hukuman maksimal 20 tahun penjara dan cambuk itu," kata Duta Besar Indonesia untuk Malaysia, Hermono.

Sementara itu, Piter Boki selaku perekrut lapangan Meriance dari desanya di NTT, telah dipenjara karena membantu melakukan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dengan vonis tiga tahun pada 2018.

Pelaku lain yang berperan menjadi penampung di Kupang dan mengurus keberangkatan ke Malaysia, yaitu Theodorus Fransiskus Moa alias Tedy Moa (petugas lapangan PT Malindo Mitra Perkasa) juga telah divonis lima tahun penjara.

Selain terlibat dalam kasus Meriance, Tedy Moa pernah dipenjara sebelumnya karena melakukan perekrutan dan pemalsuan dokumen dua perempuan di bawah umur untuk menjadi calon PMI.

Dua tersangka lain, yaitu Asnat Tafuli dan Lisa To, masuk dalam daftar pencarian orang (DPO).

Oknum-oknum lain di kasus Meriance yang diduga berperan dalam mengurus pembuatan dokumen, pengiriman secara ilegal dari Batam ke Malaysia, hingga praktik perdagangan PRT di Negeri Jiran tidak terlacak.

Mereka adalah Piter Boki dan Asnat Tafuli yang mengaku berasal dari persekutuan doa, orang-orang yang langsung dia percaya.

Meriance bercerita, pada malam itu, para perekrut bersikap layaknya utusan Tuhan yang mengumbar "rayuan surgawi".

"Mereka bilang roh kudus berbisik dan menyebut nama saya untuk pergi kerja di Malaysia. Saya ini orang desa yang tidak tahu apa-apa, dan percaya dengan mereka yang membawa nama Tuhan. Saya tidak curiga sama sekali," ceritanya.

Pada malam itu, mengutip putusan pengadilan atas Piter Boki, Asnat Tafuli berkata ke Meriance, "Kamu jangan takut, sebelum ke sini kami sudah berdoa, dan orang yang saat itu berdoa mengatakan bahwa di kampung ini ada orang yang mau ikut bekerja."

"Nanti kamu akan mendapatkan bos yang baik di Malaysia… Jangan bawa apa-apa, semua bos yang urus dan bos yang tanggung."

Tidak hanya Meriance, mereka juga merekrut saudari iparnya, Jeni Silla.

Bermodal Kartu Tanda Penduduk (KTP), mereka meninggalkan desanya, yang tidak memiliki sinyal telekomunikasi dan akses jalan rusak berbatu besar, menuju Kupang, ibu kota Provinsi NTT.

Di Kupang, Piter Boki lalu menyerahkan Meriance dan Jeni Silla ke Tedy Moa dan Lisa To usai mendapatkan bayaran, seperti tertera dalam dokumen pengadilan.

Meriance mengatakan, Tedy Moa adalah pihak yang mengurus proses pembuatan paspornya.

Saat di kantor imigrasi, Meriance mengaku dibantu oleh seorang petugas kenalan Tedy Moa untuk mengisi identitas dan pemotretan foto.

Di dalam putusan pengadilan, Tedy mengatakan, "Ibu [Meriance] menunggu saja di rumah sampai pengurusan dokumen Ibu selesai baru Ibu diberangkatkan".

Kemudian, Tedy juga disebut menghubungi pelaku lain di Batam untuk mengatur penyeberangan ke Malaysia. Tedy mengatakan ke Meriance, "Nanti transit di Surabaya, dan di Batam sudah ada orang yang menjemput".

Meninggalkan keempat anaknya yang masih kecil dan suami yang bekerja sebagai tukang batu, Meriance terbang ke Batam pada 11 April 2014.

Suami dan orang tuanya tak bisa lagi mengontaknya karena ponselnya diambil.

Di Batam, kata Meriance, mereka dibawa dua orang laki-laki ke penampungan sementara, dan kemudian dengan menggunakan kapal menyeberang ke Johor Bahru, Malaysia.

"Sesampainya di Malaysia, ada bus yang jemput ke tempat penampungan, di sana banyak perempuan NTT. Lalu beberapa minggu kemudian majikan jemput saya," ujarnya.

Dia dijanjikan mendapatkan gaji MYR 700 (sekitar Rp 2,4 juta). Tujuan cepatnya saat itu adalah dapat mengirim uang dan membantu ekonomi keluarga yang dia sebut "sangat-sangat kurang".

Ketika itu dia bahkan berani bermimpi untuk bisa punya rumah sendiri.

Namun kenyataannya, setelah hanya tiga minggu bekerja Meriance justru mengalami penyiksaan kejam hingga berhasil diselamatkan polisi pada akhir Desember 2014.

BBC menemui Nona, bukan nama sebenarnya, di Batam, tahun lalu.

Nona mengenang, satu minggu menjelang ulang tahunnya yang ke-17, rumahnya di Kupang dikunjungi oleh seseorang yang dia panggil "Opa".

"Opa itu mengaku pendeta dan bawa-bawa nama Tuhan. Dia bilang bahwa saya dipilih Tuhan kerja di Batam dan Malaysia," ujar Nona.

Di setiap proses pengurusan dokumen KTP hingga kartu keluarga, Nona menambahkan, Opa itu selalu mengajaknya berdoa.

"Dia juga kasih uang ke petugas buat urus KTP. Besok pagi KTP dan KK selesai. Usia saya diganti jadi 18 tahun," katanya.

Opa itu lalu memberangkatkan Nona ke Batam dan tinggal di sebuah perusahaan penyalur tenaga kerja.

Mengaku tidak mendapatkan gaji, dilarang berkomunikasi dengan keluarga hingga mendapatkan pelecehan, Nona melarikan diri dari perusahaan itu dan berlindung di sebuah shelter perlindungan di Batam.

Pendeta Emmy Sahertian, yang mendampingi Meriance sekaligus aktivis anti-perdagangan manusia, mengatakan, "Bagi orang desa yang mendengar 'Tuhan memilih kami untuk ke sana', mereka langsung percaya."

"Mereka menggunakan wajah agama, dan itu menampar kami juga," kata Pendeta Emmy.

Selain agama, Emmy mengatakan, para perekrut juga mengombinasikan bujukan itu dengan iming-iming gaji besar, proses dokumen mudah dan gratis, kerja yang ringan, hingga majikan yang baik.

"Nyatanya, proses ilegal itu membuat mereka mendapatkan penyiksaan hingga tewas, seperti yang dialami oleh Adelina Sau," kata Emmy, merujuk pada pekerja migran Indonesia yang meninggal pada Februari 2018, hanya beberapa hari setelah diselamatkan dari rumah majikannya

https://regional.kompas.com/read/2023/03/03/060600778/mafia-perdagangan-pekerja-migran-asal-ntt-modus-rayuan-surgawi-hingga

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke