ACEH UTARA, KOMPAS.com – Wanita paruh baya itu duduk bersandar di dinding rumahnya di Desa Pulo, Kecamatan Syamtalira Aron, Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Aceh, Rabu (26/10/2022).
Siang itu, hujan turun membuat genangan di halaman rumah berkonstruksi papan lapuk itu.
Di dalam rumah, terlihat Rohani Yusuf (41). Tangannya begitu teliti, matanya tajam menatap kanvas putih di depannya.
Tak mudah bagi Rohani menyelesaikan satu lukisan. Sebab tak semua jari bisa digunakan.
Baca juga: Abrasi Pantai Rusak 26 Rumah di Aceh Utara
Ketika melukis, dua jarinya, telunjuk dan tengah mengapit pinsil. Sedangkan jari lainnya tak bisa digunakan, karena sakit yang maha dahsyat. Dua jari itu pula yang bergerak menghasilkan puluhan lukisan di atas kain perca atau kanvas.
Matanya sangat teliti melihat foto, lalu menggoreskannya ke lukisan. Sehingga foto itu berpindah ke atas kanvas, menjadi sketsa yang indah.
Sesekali dia merapikan jilbab kuning dan baju dengan warna senada yang dikenakannya. Lalu kembali melukis.
Tak jauh dari tempat duduknya, sebuah tempat tidur berkonstruksi besi, model zaman dahulu kala berada. Di situlah Rohani beraktivitas. Dari tempat tidur tempat melukis, hanya terpaut tiga langkah.
Mantan guru honorer di salah satu sekolah dasar ini tak bisa berjalan. Penyakit reumatik tulang dan maag akut membuatnya nyaris lumpuh total.
Itu pula yang menyebabkannya terpaksa mengesot, tak bisa berjalan normal layaknya wanita lain.
Baca juga: Jatuh Bangun Salmon Bangun Usaha Fashion, Bermodal 3 Helai Kaus hingga Jual 30.000 Pakaian per Bulan
Namun, alih-alih mengeluh dan bersedu-sedan atas penderitaan itu. Rohani bangkit dan memulai hari baru lewat lukisan-lukisannya.
“Saya sakit itu sekitar 2008 lalu. Sakit sekali, ngilu di kaki, lalu pinggang dan tangan,” kenangnya melambung ke peritiswa pertama dirinya divonis menderita reumatik tulang.
Sejak saat itu pula dia tak bisa lagi menjadi guru, menemui murid-murid yang sangat dicintainya.
“Dulu saat jadi guru saya ndak melukis. Saya fokus mengajar saja. Sejak sakit, saya kembali ke kanvas, hobi ini sejak saya kecil,” katanya.
Di rumah dinding kayu dengan beberapa bagian yang sudah lapuk itu, Rohani menetap bersama ibunya Aminah (69) dan kakaknya, Sawiyah (48). Mereka hidup dari pensiunan almarhum ayahnya, ditambah kakaknya yang bekerja serabutan.
“Jadi hasil lukisan ini bisa menambah keuangan saya dan keluarga. Alhamdulillah cukup-cukup buat kebutuhan sehari-hari. Hidup itu kan bagaimana cara kita bersyukur saja,” kata Rohani filosofis atas apa yang dialaminya.
Benar saja, Rohani terlihat tegar, senyum tipis menghias di bibirnya. Kisah hidupnya diabadikan sejumlah wartawan dan pegiat media sosial. Ketegarannya menghapi penyakit yang dideritanya menjadi inspirasi bagi banyak kelompok.
Bahkan, Menteri Sosial Tri Rismaharini, pernah meminta bertemu dengan Rohani saat melakukan kunjungan kerja awal tahun ini ke Aceh Utara. Risma menyediakan khusus waktu untuk bertemu Rohani.
“Bu Risma memberi motivasi, beliau baca kisah saya yang banyak ditulis oleh wartawan,” katanya.
Lalu apakah penyakitnya tak bisa disembuhkan?
“Sekarang sudah lumpuh, tak bisa sembuh lagi. Saya pernah dirawat di rumah sakit saat 2009 lalu, tapi tidak sembuh juga. Sekarang masih minum obat juga,” sebutnya sambil tersenyum. Tak ada guratan duka sedikit pun diwajahnya.
Dia bersyukur atas apa yang telah diterimanya. Ketegarannya itu pula yang membuat Deddy Corbuzier, pernah mengundang Rohani untuk hadir di acara Hitam Putih beberapa tahun lalu. Namun, karena Rohani tak bisa melakukan perjalanan jauh, acara itu batal dihadirinya.
Kisah Rohani pun sampai ke telinga mantan Menteri Sekretaris Kabinet 2009 – 2014, Dipo Alam.
“Pak Dipo lewat temannya mengirimkan saya peralatan melukis, kanvas, kuas, cat dan lain sebagainya. Banyak sekali, sampai sekarang masih banyak dan masih saya gunakan,” imbuh dia.
Dia tak menyangka, perjalanan hidupnya menarik perhatian sejumlah pejabat dan public figure negeri ini.
Bagi Rohani, hidup bukan untuk ditangisi. Namun, hidup untuk memberi inspirasi bagi sesama manusia. Saat ini, lukisan sketsa dibandrol Rp 50.000, sedangkan lukisan di atas kain perca Rp 1 juta-2 juta. Tergantung ukurannya.
Uang hasil lukisannya itu digunakan sepenuhnya untuk ibunya yang sudah renta. “Sedapat mungkin saya jadi anak berbakti, meringankan beban kakak saya, dan ibu saya,” beber dia.
Setelah berbincang hampir 40 menit, Rohani memohon maaf. Maagnya kambuh dan dia terpaksa istirahat.
“Maafkan saya, sakit sekali. Ini saya minum obat dan istirahat,” pungkasnya mengakhiri perbincangan.
Dua pekan lalu, sekitar 20 mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta di Indonesia mendatangi rumah Rohani. Mereka tergabung dalam program pertukaran mahasiswa yang berada di Universitas Malikussaleh (Unimal) Aceh Utara.
Ayi Jufridar, dosen pendamping program itu menyebutkan, kehadiran mahasiswa itu untuk melihat sosok inspiratif Rohani.
“Mahasiswa bertanya banyak hal. Rohani menjawab dengan detail tentang lukisan, ide lukisan, belajar otodidak dan bertanya pada sesama pelukis. Semua mahasiswa itu takjub mendengar dan melihat hidup Rohani,” kata Ayi.
Dia menyebutkan, keterbatasan bukanlah menjadi penghalang bagi Rohani. Mental pejuang, dan terus menginspirasi di tengah derita penyakit itu menjadi modal bagi mahasiswa untuk menjalani kehidupan sosial di Indonesia.
“Maknanya mahasiswa harus punya daya juang, apa pun yang terjadi. Hidup harus terus bermanfaat dan tidak ada tempat untuk mengeluh,” kata Ayi.
Rohani tak mau dikasihani. Dia terus berjuang dan berkarya. Menghasilkan puluhan lukisan aneka tema. Kisahnya terus menginspirasi rakyat Indonesia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.