SEMARANG, KOMPAS.com - Angka perceraian di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun sejak 2015.
Bahkan, pada 2022 telah menembus 516.344 perceraian yang didominasi pasangan muda yang belum genap menikah hingga lima tahun.
Rinciannya, pada tahun 2015 ada 394.246 perceraian, 2016 ada 401.717, tahun 2017 ada 415.510, dan tahun 2018 ada 444.358.
Kemudian pada 2019 ada 480.618, tahun 2020 ada 501.036, tahun 2021 ada 475.933, dan tahun 2022 ada 516.399.
Baca juga: Kepala BKKBN: Keluarga Indonesia Tetap Bahagia meski Sedikit Miskin
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) RI Hasto Wardoyo, mengatakan, mayoritas perceraian dipicu keributan berulang akibat pasangan yang toxic.
Baca juga: Kepala BKKBN Sebut Judi Online Bisa Picu Perceraian
"Kita perlu prihatin karena perceraian yang meningkat. Angka perceraian dari waktu ke waktu masih bertambah. Terakhir (data tahun 2022 yang dikeluarkan MA tahun 2023) 516.344 (perceraian)," kata Hasto saat menyampaikan sambutan di peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas) ke-31 di Simpang Lima, Kota Semarang, Jawa Tengah, Sabtu (29/6/2024).
Hasto menilai, angka perceraian meningkat karena dipicu perselisihan dan pertengkaran berkepanjangan.
Tren data juga menunjukkan perceraian banyak menimpa kelompok usia 20-24 tahun dengan usia pernikahan belum genap lima tahun.
"Biasanya (perceraian) karena perbedaan kecil-kecil yang berkepanjangan. Oleh karena itu, kami mohon arahan Pak Menko (PMK) agar ke depan menjadi lebih baik," katanya.
Dia juga mengimbau agar pasangan suami istri di Indonesia tidak berperilaku toxic untuk mencegah semakin banyak perceraian.
"Melihat latar belakang perceraian karena toxic people, toxic relationship, toxic friendship, yang akhirnya di keluarga jadi uring uringan. Orang toxic ketemu orang waras jadi toxic. Orang toxic ketemu orang toxic, jadi super toxic. Sehingga mayoritas perceraian karena perbedaan kecil-kecil berkepanjangan," katanya.
Faktor lainnya yang menyebabkan perceraian, yaitu salah satu pihak meninggalkan pasangan, faktor ekonomi, dan kekerasan dalam rumah tangga.
Hasto juga menyinggung maraknya judi online bakal memengaruhi indeks pembangunan keluarga di Indonesia.
Kendati belum ada penelitian, tapi judi berpotensi memengaruhi ketentraman dalam keluarga.
"Kemarin ditanya, judi online pengaruh iindeks pembangunan keluarga tidak. Saya belum meneliti, tapi saya yakin ketentraman dan kebahagiaan terganggu ketika kepala rumah tangganya spekulasi ikut judi online," kata Hasto.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.