Dosen STKIP Bima yang kini melanjutkan pendidikan Doktor di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjajaran, itu menentang keras pacuan kuda dengan joki cilik yang mengatasnamakan tradisi.
Dewi mengatakan, pacuan kuda adalah tradisi leluhur yang memang harus dipertahankan, tetapi penggunaan joki di bawah usia 10 tahun adalah pelanggaran, dan termasuk praktik eksploitasi anak.
"Pacuan kuda silakan dilaksanakan tapi jangan gunakan joki cilik, itu tidak pernah dilakukan nenek moyang kita. Penggunaan joki cilik itu jelas melanggar dan bertentangan dengan tradisi leluhur kita di Bima," jelasnya.
Dewi mendorong pemerintah daerah bersama penggemar kuda dan elemen terkait untuk segera menghentikan penggunaan joki cilik dalam tradisi pacuan kuda di Bima.
"Bisa dibuat proporsional antara ukuran kuda dan jokinya. Misalnya, ada yang dari sisi usia sudah dewasa tapi tubuhnya mungil atau kecil, itukan bisa dijadikan joki. Jangan malah umurnya dibawah 10 tahun, itu sangat rawan bagi perkembangan dan tumbuh kembang anak," ungkapnya.
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bima menerbitkan 2 Surat Edaran (SE) terkait polemik pacuan kuda menggunakan joki cilik.
Dalam surat edaran pertama dengan nomor 709/039/05/2022 tentang joki cilik bagian dari eksploitasi anak tertanggal 9 Juli 2022, pada poin 5 tegas menyatakan menghentikan eksploitasi penggunaan joki cilik, yakni anak di bawah 18 tahun dalam pacuan kuda karena melanggar HAM dan akan kehilangan hak dasar anak.
Setelah terbitnya edaran itu para pencinta kuda langsung melayangkan protes.
Mereka mendesak agar Pemkab Bima mencabut larangan tersebut karena alasan pacuan kuda joki cilik ini adalah tradisi leluhur.
Baca juga: Elpiji 3 Kg di Bima Langka dan Mahal, Diduga Dibeli Kalangan Menengah ke Atas
Reaksi itu lantas disusul edaran lanjutan dari Pemkab Bima yang dirilis pada 26 Juli 2022.
Dalam edaran ini, Pemkab Bima mengizinkan pacuan kuda joki cilik dengan beberapa syarat, seperti pemenuhan hak-hak anak akan pendidikan, kesehatan, serta memperhatikan faktor keselamatan anak.
"Eksploitasi itu kalau kita mengabaikan hak-hak dasar anak itu. Dia berhak sebagai manusia mendapatkan pendidikan yang layak, kalau itu sudah terpenuhi tidak ada lagi eksploitasi," kata Kepala Bagian Protokol dan Komunikasi Pimpinan (Prokopim) Setda Bima, Suryadin.
Baca juga: Pemkab Bima Terbitkan SE Baru, Izinkan Joki Anak dengan Berbagai Ketentuan
Menanggapi sikap pemerintah yang dinilai tidak konsisten atas kebijakan yang sudah dikeluarkan, Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kabupaten Bima, Syafrin dengan tegas menyatakan bahwa pacuan kuda dengan joki cilik adalah praktik eksploitasi yang bertentangan dengan hukum.
"Penggunaan joki cilik tetap eksploitasi anak, tidak bisa dihilangkan oleh sesuatu apa pun kecuali ada undang-undang yang merubah, karena undang-udang lebih tinggi dari surat edaran itu," tegasnya.
Menurut dia, Pemkab Bima sudah terlambat mengeluarkan edaran karena telah banyak korban berjatuhan dalam tradisi ini selama beberapa tahun terakhir, bahkan dua di antara joki cilik meninggal dunia.
Pihaknya akan menentang dan melawan jika terdapat persoalan di kemudian hari.
"Sekarang sudah diizinkan lagi silakan, tapi kami kalau ada masalah tetap berdiri membela anak. Ini bukan keinginan kami tapi keinginan undang-undang. Kami prinsipnya pacuan kuda ya, joki cilik tidak," tandas Syafrin.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.