MAUMERE, KOMPAS.com - Maria Sinona (43) duduk sambil menenun kain di teras rumahnya di Kelurahan Wailiti, Kecamatan Alok Barat, Kabupaten Sikka, NTT, Rabu (6/7/2022) pagi.
Meski tak lagi muda, jemari Maria lincah dan teliti mengoperasikan alat tenun.
“Ini pekerjaan saya sehari-hari. Saya sudah 10 tahun menenun,” ucap Maria pelan.
Baca juga: 1.000 Warga Sikka Idap HIV dan AIDS, 211 Orang Meninggal
Di rumahnya di Wailiti, Maria tinggal bersama kedua saudaranya yang bekerja sebagai petani sayuran.
Bagi Maria, menenun, tak sekadar menjaga warisan budaya, tetapi untuk menyambung kebutuhan hidup.
Bahkan, ia sukses membiayai pendidikan dua ponakannya hingga sarjana.
"Ada dua yang sudah sarjana, anak dari kakak dan adik saya. Satunya lulusan dari Kupang dan sudah pegawai negeri sipil (PNS). Kalau satunya guru honorer," ucapnya.
Baca juga: Mengenal Tradisi Wee Mbaru, Ritual Sebelum Menghuni Rumah Baru di Manggarai NTT
Maria menuturkan, dirinya belajar menenun sejak masih masih remaja. Guru yang mengajarinya menenun adalah ibundanya sendiri.
Berkat kesabaran dan kemauan belajarnya, kini Maria bisa menghasilkan produk tenun yang berkualitas.
Baca juga: Polisi Usut Penyebab Kematian Pria Asal Makassar yang Membusuk di Indekos Sikka
Kini, ibunda dari Maria telah meninggal dunia. Sebuah alat tenun sederhana disimpannya sebagai warisan berharga dari sang ibu.
"Sekarang alat tenun yang saya pakai pemberian mama. Ia barang berharga bagi saya. Mama sudah meninggal beberapa tahun lalu,” tuturnya.
Baca juga: Pelaku yang Aniaya Pria gara-gara Bunyi Pagar di Sikka Tak Ditahan, Ini Kata Polisi
Maria mengatakan, menenun bukan hal yang mudah. Butuh proses panjang dan kesabaran.
Sebab, semakin rumit motifnya, semakin lama pula waktu yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu produk kain tenun.
Meski demikian, ia tak pernah putus asa. Sekali pun tak ada pesanan, Maria tetap menenun.
Sebab, baginya menenun adalah panggilan jiwa.
“Kadang untuk menghasilkan satu kain tenun sarung bisa menghabiskan waktu sebulan. Sangat tergantung motif,” ujarnya.
Baca juga: Cabuli Penumpang yang Masih di Bawah Umur, Tukang Ojek di Sikka Ditangkap
Maria mengungkapkan, selembar sarung tenun buatanya dibanderol dengan harga mulai Rp 800.000. Sangat tergantung tingkat kerumitan motif yang dihasilkan.
“Yang paling mahal Rp 1.800.000 karena motifnya sulit. Tapi meski mahal banyak juga yang pesan,” katanya.
Maria berharap, agar usahanya terus berkembang dan kelak bisa memperkerjakan orang lain.
Sekretaris UMKM Niang Tana Sikka (Unitas) Sonya da Gama mengatakan, tenun ikat merupakan salah satu potensi luar biasa yang dimiliki Kabupaten Sikka.
Sonya menyebutkan, hampir setiap tempat atau desa di wilayah itu memiliki perajin kain tenun.
“Hanya saja kekhawatiran kita saat ini adalah minimnya generasi muda untuk jadi penenun. Rata-rata usia penenun itu 40 tahun ke atas,” ujarnya.
Oleh sebab itu, lanjutnya, pemerintah mesti membuat produk hukum seperti peraturan daerah (perda) agar setiap instansi pemerintah maupun swasta menggunakan produk kain tenun yang ada di daerah sendiri.
Dia berkeyakinan, apabila hal dilakukan maka akan menumbuhkan semangat generasi muda melestarikan budaya kain tenun.
“Artinya produk kain tenun itu tidak hanya digunakan seragam, tetapi kebutuhan lain seperti kain meja, gorden, atau kebutuhan lain. Sehingga akan meningkatkan pendapatan para penenun dan menumbuhkan minat generasi muda," ujarnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.